Senin, 18 Oktober 2010

MISI AJARAN ISLAM

I. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna dan universal, ia berlaku sepanjang waktu, kapanpun dan di manapun (al-Islâm shâlih li kul zamân wa al-makân), Islam berlaku untuk semua orang dan untuk seluruh dunia. Dalam agama islam terdapat ajaran-ajaran yang dapat mengantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Karena islam diturunkan bukan hanya sebagai pelengkap hidup manusia saja tetapi juga mengemban beberapa misi untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan ahirat. Berikut dalam ini akan dijelaskan tentang pengrtian aqgama islam dan misi ajaran islam.
II. Rumusan Masalah
A. Pengertian Agama Islam
B. Misi Ajaran Islam
III. Pembahasan  
A. pengertian agama islam
Sebelum kita membahas masalah pengertian agama islam alangkah baiknya kita membahas pengertian agama dahulu. Harun nasution mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui para rosulnya.[1] Mohammad daud ali mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan dia melaui upacara, penyembahan, permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasar ajaran agama itu.[2] JG. Frazer agama adalah sesuatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.[3] Sedangkan M. quraisyihab menyadari akan kerumitan dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya, tetapi sangat sulit memberikan batasan atau definisi yang tepat yang bias diterima semua pihak.[4]
Islam adalah kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), berasal dari kata salama yang artinya patuh atau menerima, berakar dari huruf sin, lam, mim, (S-L-M). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, tidak bercatat. Jadi secara singkat Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan. Islam juga sebagai agama wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek kehidupannya.[5]
Sedangkan agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat.[6]
B. Misi Ajaran Islam
a.   Misi Aqidah
Kata aqidah bersala dari bahasa aqada- ya’qidu- aqdan artinya mengikat tali, mengkokohkan janji, dan menyatakan ikatan jual beli. Juga bendingkan ‘aqida- ya’qodu- ‘aqadan artinya cara bicara terpatah-patah (gagap), terikat, hasil kesepakatan, berjanji setia, menyerahkan urusan pada orang lain karena ia dipercaya dipercaya, persetujuan, dalil, alas an, ikatan nikah, kalung leher, sukar, sulit, dan teka-teki.[7]
Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.[8]
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.[9]
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang berbunyi;
….ومن لم يحكم بما أنزل الله فألئك هم الكافرون
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS al-Maidah/ 5: 44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah.
Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.[10]
b. Misi Ibadah
Ibadah berasal dari kata العبد yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata العبادة yang berarti إظهار التذلل (memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan).[11] Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah.[12]
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.
Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan (ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.[13]
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.[14] 
c. Misi Akhlak
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari الخلق (al-khuluq) yang berarti القوى والسجايا المدركة بالبصيرة (kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin).[15] Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.[16] Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk dari jiwa tauhid.[17]
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.
 
d. Misi Mu’amalah
Secara etimologi muamalah semakna dengan مفاعلة yang berarti saling berbuat. Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.[18]
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-tanduk manusia yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah muamalah atau yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing. Walau semua itu diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep dan prinsip-prinsip umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, maka seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan apa yang telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits.
Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, antara lain yaitu:
1)      Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan ibadah. Dalam persoalan aqidah, syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di bidang ibadah dan bahkan prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.
2)      Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.[19]
Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah, mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain seperti hiwâlah, ijârah, ariyah, al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.
IV. Kesimpulan
Agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat. Sedangkan ajaran islam memiliki misi sebagai berikit:
a. Aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.
b. Ibadah adalah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
c. Akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.
d. Muamalah adalah tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing.
V. Penutup
Demikian makalah yang dapat saya haturkan, sesungguhnya tidak ada kesempurnaan kecuali milik Allah SWT. Oleh karena itu sangat kami harapkan saran, kritik dan masukkan yang konstruktif, untuk perbaikan penulisan saya kedepan. Semoga makalah ini bisa memberikan kita khazanah dan bermanfaat bagi kita semua. Amin…
 

Foot Note
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III, hlm. 10
[2] Moh. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998, Hlm. 40-45
[3] H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI, hlm. 5
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997), hlm. 209
[5] Prof. Dr. Amin Syukur, M.A, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006), hlm. 32
[6] Ajat sudrajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008), hlm. 34
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996) hlm. 274- 275
[8]Abdul Aziz Dahlan (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I, hlm. 78
[9] Nazaruddin Razak, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 119-176
[10]  Harun Nasution,op.Cit, hlm. 31
[11]  Mahmud yunus, op. cit, hlm. 354
[12]  Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid II, hlm. 592
[13] Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, op.cit., hlm. 276-277
[14] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 177-240
[15] Abdul Aziz Dahlan (ed), op.cit., hlm. 593 – 594
[16] Mahmud yunus, op.cit, hlm. 460
[17]  Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid I, hlm. 75
[18] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 39
[19]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1, h. vii; Lihat juga Rozalinda, Fiqh Muamalah, dan Aplikasinya pada Perbankan Syari’ah, (Padang: Hayva Pres, 2005), cet. ke-1, hlm. 3
[20]  Nasrun Haroen, Ibid, h. xi – xii
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III
Ali, Moh. Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998
Arifin, H.M, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997)
Syukur, Amin, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006)
sudrajat, Ajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I
Razak, Nazaruddin, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993)
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1

Minggu, 10 Oktober 2010

pengertian pendidikan secara sempit dan luas

I. Pendahuluan
Kita sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi karena kita bergerak di bidang pendidikan. Juga pasti kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Tetapi seringkali orang melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya. Karena itu benarlah kalau dikatakan bahwa setiap orang yang terlihat dalam dunia pendidikan sepatutnyalah selalu merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi sebagai buah refleksinya. Makalah singkat ini mencoba mengungkap makna education, Tarbiyah, pendidikan yang terkadang dimaknai secara sempit. Padahal pendidikan memiliki makna yang amat luas.

II. Rumusan Masalah
A. Pendidikan menurut bahasa dan istilah
B. Pendidikan dalam arti sempit
C. Pendidikan dalam arti luas

III. Pembahasan
A. Pendidikan menurut bahasa dan istilah
Pendidikan menurut bahasa Yunani : berasal dari kata pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children). Sedangkan dalam bahasa Romawi: pendidikan berasal dari kata educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
Sedangkan pendidikan menurut istilah adalah menurut UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989 : "Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/latihan bagi peranannya di masa yang akan datang".[1] Sedangkan menurut UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[2]
Menurut para ahli, definisi pendidikan adalah "Berbagai upaya dan usaha yang dilakukan orang dewasa untuk mendidik nalar peserta didik dan mengatur moral mereka".[3] Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Paulo Freire ia mengatakan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, damana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.[4]
Jadi pendidikan menurut istilah adalah Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya yang menyesuaikan dengan lingkungan yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat. Untuk pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju kedewasaan.
B. Pendidikan dalam arti sempit
Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat.[5] Namun pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah (pengajaran yang di selenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal, segala pengaruh yang di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka).[6]
Dalam arti sempit, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan dalam arti sempit ditentukan oleh pihak luar individu peserta didik. Sebagaimana kita maklumi, tujuan pendidikan suatu sekolah atau tujuan pendidikan suatu kegiatan belajar-mengajar di sekolah tidak dirumuskan dan ditetapkan oleh para siswanya.
2. Lamanya waktu pendidikan bagi setiap individu dalam masyarakat cukup bervariasi, mungkin kurang atau sama dengan enam tahun, sembilan tahun bahkan lebih dari itu. Namun demikian terdapat titik terminal pendidikan yang ditetapkan dalam satuan waktu.
Pendidikan dilaksanakan di sekolah atau di dalam lingkungan khusus yang diciptakan secara sengaja untuk pendidikan dalam konteks program pendidikan sekolah. Dalam pengertian sempit, pendidikan hanyalah bagi mereka yang menjadi peserta didik (siswa/mahasiswa) dari suatu lembaga pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi). Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar yang terprogram dan bersifat formal atau disengaja untuk pendidikan dan terkontrol. Dalam pengertian sempit, pendidik bagi para siswa terbatas pada pendidik profesional atau guru.
Setiap disiplin ilmu memiliki objek formal yang berbeda.
a. Berdasarkan hasil studi terhadap objek formalnya masing-masing, setiap disiplin ilmu menghasilkan perbedaan pula mengenai konsep atau definisi yang identik dengan pendidikan.
b. Berdasarkan pendekatan sosiologi, pendidikan identik dengan sosialisasi (socialization).
c. Berdasarkan pendekatan antropologi, pendidikan identik dengan enkulturasi (enculturation).
d. Berdasarkan pendekatan ekonomi, pendidikan identik dengan penanaman modal pada diri manusia (human investment).
e. Berdasarkan pendekatan politik, pendidikan identik dengan civilisasi (civilization).
f. Berdasarkan pendekatan psikologis, pendidikan identik dengan personalisasi atau individualisasi (personalization atau individualization).
g. Berdasarkan pendekatan biologi, pendidikan identik dengan adaptasi (adaptation).[7]
C. Pendidikan dalam arti luas
Sedangkan pendidikan dalam arti makro (luas) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu/ pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya.[8] Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir).[9]
Jadi pendidikan dalam arti luas, hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup (life is education, and education is life). Maksudnya bahwa pendidikan adalah segala pengalaman hidup (belajar) dalam berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi pertumbuhan atau perkembangan individu.
Dalam arti luas, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup individu, tidak ditentukan oleh orang lain,
b. Pendidikan berlangsung kapan pun, artinya berlangsung sepanjang hayat (life long education). Karena itu pendidikan berlangsung dalam konteks hubungan individu yang bersifat multi dimensi, baik dalam hubungan individu dengan Tuhannya, sesama manusia, alam, bahkan dengan dirinya sendiri.
c. Dalam hubungan yang besifat multi dimensi itu, pendidikan berlangsung melalui berbagai bentuk kegiatan, tindakan, dan kejadian, baik yang pada awalnya disengaja untuk pendidikan maupun yang tidak disengaja untuk pendidikan.
d. Pendidikan berlangsung bagi siapa pun. Setiap individu anak-anak atau pun orang dewasa, siswa/mahasiswa atau pun bukan siswa/ mahasiswa dididik atau mendidik diri.
e. Pendidikan berlangsung dimana pun. Pendidikan tidak terbatas pada schooling saja. Pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan di dalam lingkungan alam dimana individu berada. Pendidik bagi individu tidak terbatas pada pendidik profesional.[10]

IV. Kesimpulan
Pendidikan menurut bahasa Yunani : berasal dari kata pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing.
Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Namun pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah (pengajaran yang di selenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal, segala pengaruh yang di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka).
Sedangkan pendidikan dalam arti makro (luas) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu/ pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir).
V. Penutup
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi Rabb atas pertolongan-Nyalah penyusunan makalah ini dapat selesai tepat waktu. namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari sisi substansi isi maupun teknis penulisan. itu semua terpulang kepada kami dan secara akademik menjadi tanggung jawab kami pula. Untuk itu segala bentuk saran, masukan, koreksi maupun kritik sangat kami nantikan dan harapkan dalam kerangka mencari kebenaran serta guna memperbaiki kualitas makalah ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami berharap walau ibarat setetes air di samudra luas makalah ini dapat menjadi sarana menambah ilmu yang bermanfaat. amin.
Foot note
[1]UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989
[2]UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003
[3]Warta Politeknik Negeri Jakarta, April 2007
[4]Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Yogyakarta: LP3ES, 1999), hlm. 26
[5]Hadikusumo, Kunaryo,dkk, Pengantar Pendidikan, (Semarang : IKIP Semarang Press, 1996), hlm. 36
[6]Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 55
[7]http://sulipan.wordpress.com/2009/10/02/pengertian-pendidikan-berdasarkan-lingkupnya-dan-berdasarkan-pendekatan-monodisipliner/
[8]Hadikusumo, Kunaryo,dkk. Op. Cit, hlm. 40
[9]Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. Op. Cit, hlm. 62
[10] http://sulipan.wordpress.com, Op. Cit














DAFTAR PUSTAKA
Hadikusumo, Kunaryo, dkk, Pengantar Pendidikan, Semarang : IKIP Semarang Press, 1996
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Yogyakarta: LP3ES, 1999
Umar, Tirtarahardja dan La Sulo, S.L. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005
UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989
UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003
Warta Politeknik Negeri Jakarta, April 2007

Rabu, 06 Oktober 2010

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh: Ahmad Nizar
Artikel ini diajukan untuk memenuhi tugas Ilmu Alamiah Dasar
Islam adalah agama akal dan hati nurani. Seseorang memahami kebenaran yang diberitakan oleh agama dengan menggunakan kearifannya, serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari alam di sekitarnya menggunakan hati nuraninya. Seseorang yang menggunakan akal dan hatinya dalam memahami sifat-sifat benda apa pun di alam semesta ini, bahkan meskipun ia bukan pakar dalam masalah tersebut, akan memahami bahwasanya itu semua diciptakan oleh Sang Pemilik Kebijaksanaan, Ilmu, dan Kekuasaan yang agung.
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim.
Bagian yang terbanyak daripada ayat-ayat Al-Qur’an adalah perintah Allah kepada manusia agar menalari alam sekelilingnya. Dan setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung turun dari Allah SWT.
Telah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah. Benar kiranya jika Al Qur’an disebut sebagai mukjizat. Bagaimana tidak, ternyata ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di abad ke 7 masehi di mana ilmu pengetahuan belum berkembang (saat itu orang mengira bumi itu rata dan matahari mengelilingi bumi), sesuai dengan ilmu pengetahuan modern yang baru-baru ini ditemukan oleh manusia.
Sebagai contoh ayat di bawah:
Sebagai contoh, dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 30 Allah SWT berfirman: “Tidakkah orang-orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Tidakkah mereka percaya?”. Ayat yang diwahyukan Allah pada abad ke-7 ini baru jelas maknanya setelah ilmu kosmologi dan ilmu biologi berkembang pada abad ke-20.
Saat itu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini.
Kemudian ternyata benar segala yang bernyawa, termasuk tumbuhan bersel satu pasti mengandung air dan juga membutuhkan air. Keberadaan air adalah satu indikasi adanya kehidupan di suatu planet. Tanpa air, mustahil ada kehidupan. Inilah satu kebenaran ayat Al Qur’an.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al Qur’an, 21:33)
Baru pada tahun 1929 dunia astronomi menyadari bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain, dan ini berarti bahwa alam semesta berada dalam keadaan berekspansi atau mengembang. Baru pada tahun 1965 ditemukan bukti-bukti ilmiah bahwa pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam tingkat kepadatan yang tidak terhingga (infinite density), lalu dengan proses Dentuman Akbar (Big Bang) pada sekitar 14 miliar tahun yang silam maka terciptalah alam semesta ini.
Demikian pula dunia biologi baru pada abad ke-20 mengetahui bahwa 80% penyusun sel-sel makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme) adalah air. Seluruh metabolisme dalam tubuh makhluk hidup hanya dapat berlangsung dalam lingkungan pelarut air. Kehidupan di muka bumi baru terbentuk setelah adanya air. Banyak makhluk hidup yang tidak memerlukan udara atau oksigen, tetapi tidak ada yang mampu survive tanpa air.
Masih banyak ayat Al-Qur’an tentang fenomena alam yang harus digali dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan intelektual Muslim. Kita sering lupa bahwa di samping ayat-ayat Qur’ani (yang tertulis dalam Al-Qur’an), terdapat lebih banyak lagi ayat-ayat Kauni, yaitu hukum-hukum Allah yang terdapat dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam Surat Fushshilat ayat 53, Allah SWT berfirman: “Akan Kami perlihatkan pada manusia ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam kehidupan mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar”.
Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences).
Salah satu perintah Allah yang belum maksimal kita laksanakan adalah penguasaan ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan didasari iman dan taqwa (IMTAQ). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan adalah karena mewarisi dan meneruskan ilmu pengetahuan umat Islam di abad-abad pertengahan. Patut dicatat bahwa supremasi kaum Muslimin selama delapan abad jauh lebih lama daripada supremasi Barat sekarang (sejak abad ke-18). Dan umat Islam di mana saja diliputi oleh optimisme bahwa supremasi itu akan kembali ke tangan mereka, asalkan mereka konsisten kepada ajaran Al-Qur’an.
Marilah kita perhatikan intisari ajaran Al-Qur’an tentang sains dan teknologi. Pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti (Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27). Kedua, manusia diperintahkan Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam semesta (Ali Imran 190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13). Ketiga, dalam memanfaatkan hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau membuat pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kita harus memiliki sikap-sikap intelektual yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Pertama, kritis terhadap permasalahan yang dihadapi, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. Kedua, bersedia menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana tercantum dalam Surat Az-Zumar ayat 18: “Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
Ketiga, menggunakan daya nazhar (nalar) semaksimal mungkin, sebagaimana tercantum dalam Surat Yunus ayat 101: “Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”.
Pemahaman terhadap hukum-hukum Allah di alam semesta akan semakin menyadarkan kita bahwa dunia yang fana ini mempunyai awal dan akhir, serta sesudah kehidupan dunia ini akan datang kehidupan akhirat yang abadi. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surat Ar-Ra`d ayat 2: “Allah telah meninggikan langit dengan tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian Dia berkuasa di atas `Arasy. Dia menyediakan matahari dan bulan, yang beredar sampai waktu yang ditentukan. Dia mengatur urusan alam semesta. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”
Pada titik penting dalam sejarah saat ini, kita kaum Muslim memiliki tanggung jawab penting. Berkat globalisasi, dunia tengah berubah menjadi panggung pentas bagi berbagai pemikiran di mana semua sekat dan batas telah terangkat, dan dalam lingkungan ini kita kaum Muslim, sebagai wakil agama yang benar, perlu melancarkan suatu perjuangan besar di bidang budaya dan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan kebenaran Islam.
Kaum Muslim tidak boleh tampil sebagai sosok yang bermusuhan terhadap dunia, sebagai orang yang berpandangan sempit dan keras. Sebaliknya, mereka harus memimpin seluruh dunia dalam hal akhlak, ilmu pengetahuan, pemikiran dan seni. Oleh karena satu-satunya jawaban adalah akhlak Al Qur’an, maka sebuah tanggung jawab besar dan penting jatuh ke pundak orang-orang yang berhati nurani bersih untuk menerangkan Al Qur’an kepada setiap orang dan untuk melancarkan perlawanan ilmiah, serta berusaha keras mengenyahkan Darwinisme, suatu pemikiran materialis yang bertentangan dengan Al Qur’an.