Senin, 18 Oktober 2010

MISI AJARAN ISLAM

I. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna dan universal, ia berlaku sepanjang waktu, kapanpun dan di manapun (al-Islâm shâlih li kul zamân wa al-makân), Islam berlaku untuk semua orang dan untuk seluruh dunia. Dalam agama islam terdapat ajaran-ajaran yang dapat mengantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Karena islam diturunkan bukan hanya sebagai pelengkap hidup manusia saja tetapi juga mengemban beberapa misi untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan ahirat. Berikut dalam ini akan dijelaskan tentang pengrtian aqgama islam dan misi ajaran islam.
II. Rumusan Masalah
A. Pengertian Agama Islam
B. Misi Ajaran Islam
III. Pembahasan  
A. pengertian agama islam
Sebelum kita membahas masalah pengertian agama islam alangkah baiknya kita membahas pengertian agama dahulu. Harun nasution mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui para rosulnya.[1] Mohammad daud ali mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan dia melaui upacara, penyembahan, permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasar ajaran agama itu.[2] JG. Frazer agama adalah sesuatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.[3] Sedangkan M. quraisyihab menyadari akan kerumitan dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya, tetapi sangat sulit memberikan batasan atau definisi yang tepat yang bias diterima semua pihak.[4]
Islam adalah kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), berasal dari kata salama yang artinya patuh atau menerima, berakar dari huruf sin, lam, mim, (S-L-M). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, tidak bercatat. Jadi secara singkat Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan. Islam juga sebagai agama wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek kehidupannya.[5]
Sedangkan agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat.[6]
B. Misi Ajaran Islam
a.   Misi Aqidah
Kata aqidah bersala dari bahasa aqada- ya’qidu- aqdan artinya mengikat tali, mengkokohkan janji, dan menyatakan ikatan jual beli. Juga bendingkan ‘aqida- ya’qodu- ‘aqadan artinya cara bicara terpatah-patah (gagap), terikat, hasil kesepakatan, berjanji setia, menyerahkan urusan pada orang lain karena ia dipercaya dipercaya, persetujuan, dalil, alas an, ikatan nikah, kalung leher, sukar, sulit, dan teka-teki.[7]
Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.[8]
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.[9]
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang berbunyi;
….ومن لم يحكم بما أنزل الله فألئك هم الكافرون
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS al-Maidah/ 5: 44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah.
Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.[10]
b. Misi Ibadah
Ibadah berasal dari kata العبد yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata العبادة yang berarti إظهار التذلل (memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan).[11] Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah.[12]
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.
Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan (ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.[13]
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.[14] 
c. Misi Akhlak
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari الخلق (al-khuluq) yang berarti القوى والسجايا المدركة بالبصيرة (kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin).[15] Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.[16] Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk dari jiwa tauhid.[17]
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.
 
d. Misi Mu’amalah
Secara etimologi muamalah semakna dengan مفاعلة yang berarti saling berbuat. Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.[18]
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-tanduk manusia yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah muamalah atau yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing. Walau semua itu diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep dan prinsip-prinsip umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, maka seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan apa yang telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits.
Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, antara lain yaitu:
1)      Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan ibadah. Dalam persoalan aqidah, syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di bidang ibadah dan bahkan prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.
2)      Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.[19]
Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah, mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain seperti hiwâlah, ijârah, ariyah, al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.
IV. Kesimpulan
Agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat. Sedangkan ajaran islam memiliki misi sebagai berikit:
a. Aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.
b. Ibadah adalah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
c. Akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.
d. Muamalah adalah tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing.
V. Penutup
Demikian makalah yang dapat saya haturkan, sesungguhnya tidak ada kesempurnaan kecuali milik Allah SWT. Oleh karena itu sangat kami harapkan saran, kritik dan masukkan yang konstruktif, untuk perbaikan penulisan saya kedepan. Semoga makalah ini bisa memberikan kita khazanah dan bermanfaat bagi kita semua. Amin…
 

Foot Note
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III, hlm. 10
[2] Moh. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998, Hlm. 40-45
[3] H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI, hlm. 5
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997), hlm. 209
[5] Prof. Dr. Amin Syukur, M.A, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006), hlm. 32
[6] Ajat sudrajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008), hlm. 34
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996) hlm. 274- 275
[8]Abdul Aziz Dahlan (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I, hlm. 78
[9] Nazaruddin Razak, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 119-176
[10]  Harun Nasution,op.Cit, hlm. 31
[11]  Mahmud yunus, op. cit, hlm. 354
[12]  Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid II, hlm. 592
[13] Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, op.cit., hlm. 276-277
[14] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 177-240
[15] Abdul Aziz Dahlan (ed), op.cit., hlm. 593 – 594
[16] Mahmud yunus, op.cit, hlm. 460
[17]  Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid I, hlm. 75
[18] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 39
[19]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1, h. vii; Lihat juga Rozalinda, Fiqh Muamalah, dan Aplikasinya pada Perbankan Syari’ah, (Padang: Hayva Pres, 2005), cet. ke-1, hlm. 3
[20]  Nasrun Haroen, Ibid, h. xi – xii
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III
Ali, Moh. Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998
Arifin, H.M, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997)
Syukur, Amin, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006)
sudrajat, Ajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I
Razak, Nazaruddin, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993)
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1

2 komentar:

  1. terima kasih banyak atas penjelasannya, saya merasa sangat terbantu sekali dengan artikel ini

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah berbagi ilmu dan pengetahuan, semoga bermanfaat. Jazakalloohu khoiro katsiro.

    BalasHapus