STRATEGI, MOTODE DAN TEKNIK PEMBELAJARAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Teknologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Drs. Fatah syukur, M. Ag
Disusun Oleh :
Hasan Bastomi (083111063)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
STRATEGI, MOTODE DAN TEKNIK PEMBELAJARAN
I. PENDAHULUAN
Dalam sebuah proses belajar mengajar tentunya ada yang namanya pendidik dan pesrta didik. Peserta didik mencoba menerima apa yang diberikan terhadap anak didik. Namun itu semua akan sulit untuk dilaksanakan. Karena suatu pembelajaran dipengaruhi oleh banyak factor mulai dari pendidik, peserta didik sampai pada cara penyampaian pendidik.
Setiap peserta didik menginginkan agar apa yang diajarka oleh pendidik dapat mereka serap dengan baik maka hal ini tidak hanya dibebankan kepada peserta didik tetapi sebagai seorang pendidik kita harus aktif agar apa yang kita ajarkan dapat dicerna dengan baik oleh pesrta didik. Tentunya menganangani hal itu kita harus melakukan berbagai inovasi baik dalam strategi pembelajaran, metide pembelajaran dan teknik pembelajaran. Oleh kerana itu dalam makalah ini akan dibahas masalah-masalah tersebut.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Strategi Pembelajaran
B. Metode Pembelajaran
C. Teknik Pembelajaran
III. PEMBAHASAN
A. Strategi Pembelajaran
Tujuan belajar bagi peserta didik yang utama ialah bahwa apa yang dipelajarinya itu berguna dikemudian hari. Apa yang dipelajari oleh pendidik dan peserta didik dalam situasi tertentu memungkinkan kita untuk memahami hal lain. Belajar selalu menunjukkan suatu proses perubahan prilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu. Sementara itu mengajar adalah segala upaya yang disengaja oleh pendidik dalam rangka memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk terjadinya proses pendidikan mengajar yang lebih baik pada seluruh peserta didik.
Sedangkan stategi pembelajaran menurut kozna (1989) adalah setiap kegiatan yang dipilih yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik menuju tercapainya tujuan pembelajaran tertentu. Strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu. Sementara itu, Kemp mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa strategi pembelajaran adalah sebagai cara yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran sebagi fasilitas atau bantuan kepada peserta didik agar tujuan pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Adapun dalam catatan sejarah pendidikan nasional telah dikenal beberapa pendekatan atau strategi pembelajaran antara lain:
a. SAS adalah strategi pembelajaran yang sitematis, analisis dan sintesis.
b. CBSA adalah strategi pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk aktif.
c. CTL (Contekstual Teaching And Learning)
d. Life Skills Education
e. PAKEM adalah strategi pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyengkan.
f. PAIKEM adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada keaktifan, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
B. Metode pembelajaran
Ditinjau dari segi etimologis (bahasa), metode berasal dari bahasa yunani yaitu “methodos”. Kata ini terdiri dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati, dan “hodos” yang berate jalan atau cara. Meka metode memiliki arti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.
Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya. Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran.
Teramat banyak untuk menyebutkan metode yang digunaka dalam suatu pembelajaran. Proses pembelajaran yang baik hendaknya menggunakan metide sacara bergantian atau saling bahu membahu satu sama lain sesuai situasi dan kondisi. Masing-masing metode ada kelebihan dan kelemahannya. Tugas guru adalah memilih diantara ragam metode yang tepat untuk menciptakan suatu iklim pembelajaran yang kondusif. Ketepatan penggunaan metode tersebut sangat bergantung pada tujuan pebelajaran
Ditinjau dari segi penerapannya metode-metode pembelajaran ada yang tepat digunakan untuk siswa dalam jumlah besar dan ada yang tepat digunakan dalam jumlah kecil. Ada yang tepat digunakan di dalam kelas atau diluar kelas. Dibawah ini akan diuraikan secara singkat metode-metode pembelajaran yang sampai saat ini masih banyak digunakan dalam proses pembalajaran.
a. Metode ceramah
Ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secra lisan. Guru memberikan uraian atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu tertentu (waktu terbatas) dan tempat tentu pula. Dilaksanakan dengan bahasa lisan untuk memnerikan pengertian terhadap suatu masalah. Dalam metode caramah ini murid duduk, melihat, dan mendengarkan serta percaya bahwa apa yang diceramahkan guru itu adalah benar.
b. Metode Tanya jawab
Metode Tanya jawab adalah metode pembelajaran yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung antara guru dan murid. Guru bertanya dan murid menjawab, atau murid bertanya dan guru menjawab. Dalam komunikasi ini terlihat adanya hubungan timbel balik secara langsung antar guru dan murid. Menfaat terpenting adalah guru dapat memperoleh gambaran sejauh mana murid dapat mengerti dan dapat mengungkapkan apa yang telah diceramahkan.
c. Metode diskusi
Diskusi pada dasarnya adalah saling menukar informasi, pendapat, dan unsure-unsur pengalaman secara teratur dengan meksud untuk mendapatkan pengertian bersama yang lebih teliti tentang sesuatu atau untuk mempersiapkan dan merapungkan keputusan bersama. Oleh karena itu diskusi bukanlah debat, karena debat adalah perang mulut, beradu argumentasi, berdu paham untu memenangkan paham sendiri.
d. Metode eksperiment
Metode ini biasanya dilakukan dalam suatu pelajaran tertentu, seperti ilmu alam, ilmu kimia, dan sejenisnya. Biasanya digunakan terhadap ilmu-ilmu alam yang didalam penelitiannnya menggunakan metode yang sifatnya obyektif, baik yang dilakuakan di dalam tau di luar kelas maupun di dalam suatu labolatorium tertentu.
e. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode pembelajaran yang menggunakan peragaan yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk memperlihatkan bagimana melakukan sesuatu kepada anak didik.
f. Metode pemberian tugas dan resitasi
Yang dimaksud dengan metode ini adalah suatu cara dalam proses pembelajaran bilamana guru member tugas tertentu dan murid mengerjakannya, kemudian tugas tersebut dipertanggung jawabkan kepada guru.
Tugas dan resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah, tetapi jauh lebih luas dari itu. Tugas bisa dilaksanakan di rumah, di sekolah, di perpustakaan, dan di tempat lainnya. Tugas dan resitasi merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual meupun secara kelompok. Oleh karena itu tugas dapat diberikan secara individual, atau secara kelompok.
g. Metode sosio drama
Metode soiso drama atau role playing dapat dikatakan sama artinya. Dan dalam pemakaiannya sering disilih gantikan. Sosio drama pada dasarnaya mendramatisasi tingkah laku dalam hubungan dengan masalah sosial.
h. Metode drill (latihan)
Penggunaaan istilah “latihan” sering disamakan artinya dengan istilah “ulangan”. Padahal maksudnya berbeda, latihan bermaksud agar pengetahuan dan kecakapan tertentu dapat dimiliki dan diuasai sepenuhnya oleh peserta didik. Sedangkan ulangan hanyalah untuk sekedar mengkur sejauh mana dia telah menyerap pembelajaran tersebut.
i. Metode kerja kelompok
Apabila guru dalam menghadapi anak didik di kelas merasa membagi anak didik dalam kelompok-kelompok untuk memecahkan suatu masalah atau untuk menyerahkan suatu pekerjaan yang perlu dikerjakan bersama-sama, maka cara tersebut dinalamakan metode karja kelompok.
j. Metode proyek
Metode ini disebut juga tehnik pembelajaran unit. Anak didik disuguhi bermacam-macam masalah dan anak didik bersama-sama menghadapi mesalah tersebut denngan mengikuti langkah-langakah tertentu secara ilmiyah, logis dan sistematis. Cara demkian adalah tehnik yang modern, karena murid tidak bisa begitu saja manghadapi persoalan tanpa pemikiran-pemikiran ilmiyah.
k. Metode problem solving (pemecahan masalah)
Metode problem solving (pemechan masalah) merupakan suatu metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan persoalan-persoalan tertentu. Metode ini bukan hanya
Sekedar metode pembalajaran biasa tetapi juga merupakan metode bergikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya yang dimulai dengan mancari data sampai kepada menarik kesimpulan.
l. Metode sitem regu
Team teaching pada dasarnya ialah metode mengajar dua orang guru atau lebih bekerja sama mengajar sebuah kelompok siswa. Jadi kelas dihadapi beberapa guru.
Sitem regu banyak macamnya, sebab untuk satu regu tidak senantiasa berisi guru secara formal saja, tetapi dapat melibatkan orang-orang luar yang dianggap perlu sesuai dengan keahian yang dibutuhkan.
m. Metode karya wisata
Metode karya wisata merupakan perkalanan atau pelesir yang dilakukan oleh peserta didik umtuk memperoleh pengalaman belajar. Terutama pengalaman secara lengsung dan merupakan bagian integral dari kurikulum sekolah.
n. Metode resourse person (manusia sumber)
Metode resourse person dimaksudka ialah orang luar (bukan guru) memberikan pelajaran kepada siswa. Orang luar ini diharapkan memiliki keahlian khusus, misalnaya: petugas penyuluh lapangan (PPL) dalam pertanian diminta untuk menberikan penjelasan tentang panca usaha tani di depan para siswa.
o. Metode survei masyarakat
Pada dasarnya survey berarti cara untuk memperoleh informasi atau keterangan dari sejumlah unit tertentu dengan jalan observasi dan komunikasi langsung. Masalah-masalah yang dipelajari dalam survey adalah masalah-masalah sosial. Untuk mempelajari masalah-masalah sosial atau masalah yang tejadi pada masyarakat dapat dilakukan dengan survey dan wawancara.
p. Metode simulasi
Simulasi bersal dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah. Dengan demikian simulasi dalam metode pembelajaran dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu (behan pelajaran) melalui perbuatan yang bersifat pura-pura atau melalui proses imitasi. Atau bermain peranan mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan yang sebanarnya.
C. Teknik Pembelajaran
Teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Sementara itu didalam metode pembelajaran terkait dengan teknik pembelajaran. Teknik pembelajaran merupakan cara yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan metode pembelajaran. Sedikit ilustrasi, metode role playing pada kelas yang siswanya memiliki orang tua dengan rata-rata ekonomi tinggi, berbeda teknik perlakuannya terhadap siswa yang orang tuanya dengan rata-rata ekonomi rendah. Pun dengan penggunaan metode debat perlu digunakan teknik yang berbeda pula, untuk kelas yang tergolong aktif dibandingkan dengan kelas yang siswanya mayoritas pasif. Seorang guru dapat berganti-ganti teknik pembelajaran walau dalam kerangka metode pembelajaran yang sama.
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Oleh karena itu seorang guru selayaknya dapat merumuskan suatu model pembelajaran yang dapat merangsang minat siswa dan mempu melakukan transformasi pengetahuan kepada peserta didik.
IV. KESIMPULAN
Strategi pembelajaran adalah sebagai cara yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran sebagi fasilitas atau bantuan kepada peserta didik agar tujuan pendidikan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Adapun dalam catatan sejarah pendidikan nasional telah dikenal beberapa pendekatan atau strategi pembelajaran antara lain:
a. SAS adalah strategi pembelajaran yang sitematis, analisis dan sintesis.
b. CBSA adalah strategi pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk aktif.
c. CTL (Contekstual Teaching And Learning)
d. Life Skills Education
e. PAKEM adalah strategi pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyengkan.
f. PAIKEM adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada keaktifan, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dibawah ini akan diuraikan secara singkat metode-metode pembelajaran yang sampai saat ini masih banyak digunakan dalam proses pembalajaran.
a. Metode ceramah
b. Metode Tanya jawab
c. Metode diskusi
d. Metode eksperiment
e. Metode demonstrasi
f. Metode pemberian tugas dan resitasi
g. Metode sosio drama (role playing)
h. Metode drill (latihan)
i. Metode kerja kelompok
j. Metode proyek
k. Metode problem solvih (pemecahan masalah)
l. Metide sistem regu (tem teaching)
m. Metode karya wisata (flied-trip)
n. Metode resource person (manusia sumber)
o. Metode survey masyarakat
p. Metode simulasi
Teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik
Sementara itu didalam metode pembelajaran terkait dengan teknik pembelajaran. Teknik pembelajaran merupakan cara yang dilakukan oleh guru dalam melaksanakan metode pembelajaran.
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
V. PENUTUP
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi Rabb atas pertolongan-Nyalah penyusunan makalah ini dapat selesai tepat waktu. Namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari sisi substansi isi maupun teknis penulisan. itu semua terpulang kepada kami dan secara akademik menjadi tanggung jawab kami pula. Untuk itu segala bentuk saran, masukan, koreksi maupun kritik sangat kami nantikan dan harapkan dalam kerangka mencari kebenaran serta guna memperbaiki kualitas makalah ini. Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami berharap walau ibarat setetes air di samudra luas makalah ini dapat menjadi sarana menambah ilmu yang bermanfaat. amin.
DAFTAR PUSTAKA
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan: Teory Dan Praktik, VIII, Jakarta: Indeks, 2008
Nasution. S, Berbegai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Sagala, Syaiful, Supervisi Pembelajaran Dalam Profesi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010
Senjaya, Wina, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan Jakarta: Kencana Prenada Media Grou, 2008
SM, Ismail, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang: Rasail Media Grup, 2009
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
http://hpcartridgerefills.com/pengertian-pendekatan-strategi-metode-teknik-taktik-dan-model-pembelajaran/
Selasa, 21 Desember 2010
Sabtu, 11 Desember 2010
tugas bahasa indonesia
1.pengertian bahasa indonesia yang baik dan benar
a. Bahasa Yang Baik
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya dalam situasi yang santai dan akrab, seperti diwarung kopi, di pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahsa Indonesia yang santai dan akrab yang tidak terlalu terikat oleh patokan. Dalam situasi rwesmi dan formal, seperti dalam kuliah dan seminar, dalan sidang DPR, dan dalam pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal, yang selalu memperhatikan norma bahasa.
b. Bahasa Yang Benar
Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan dan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan pragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata diperhatikan dengan seksama dan penalaran ditaati dengan konsisten, pemakaian bahasa Indonesia dikatakan benar. Sebaliknya jika kaidah-kaidah bahasa itu kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar / tidak baku.
2.Kaidah dasar bahasa indonesia
A. Beberapa Kaidah Dasar Bahasa Indonesia
1. Kaidah Ejaan
Yang dimaksud dengan ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana anatara hubungan lambing-lambang itu. Secara teknis yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisa huruf, penulisan kata, dan penulisan tanda baca.
2. Kaidah penyusunan kalimat
Kalimat ialah suatu bagian yang selesai dengan menunjukkan pikiran yang lengkap. Yang dimaksud dengan pikiran yang lengkap adalah informasi yang didukung oleh pikiran yang utuh. Sekurang-kurangnya kalimat itu memiliki subjek dan pokok kalimat dan predikat atau sebutan.
3. Kaidah Penyusunan Pragraf
Pragraf adalah seperangkat kalimat yang membicarakan suatu gagasan atau topik.
Topik pragraf adalah pilihan utama di dalam seluruh pragraf pikiran utama merupakan pokok persoalan atau pokok pembicaraan.
4. Kaidah Pembentukan Kata
Ada dua cara pembentukan kata, yaitu dari dalam dan dari luar bahasa Indonesia. Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kata-kata baru dengan dasar kata yang sudah ada, sedangkan dari luar terbentuk kata baru melalui unsure serapan.
3.Bahasa indonesia baku
Bahasa baku atau bahasa standar adalah ragam bahasa yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat, dan rapat resmi. Bahasa baku terutama digunakan sebagai bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa baku umumnya ditegakkan melalui kamus (ejaan dan kosakata), tata bahasa, pelafalan, lembaga bahasa, status hukum, serta penggunaan di masyarakat (pemerintah, sekolah, dll).
4.Fungsi bahasa indonesia baku
Bahasa baku tidak dapat dipakai untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar keempat penggunaan itu, dipakai ragam takbaku.
5.Ejaan Yang Disempurnakan
Suatu ejaan yang sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan edisi kedua berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987, dicermatkan pada Rapat Kerja ke-30 Panitia Kerja Sama Kebahasaan di Tugu, tanggal 16–20 Desember 1990 dan diterima pada Sidang ke-30 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia di Bandar Seri Begawan, tanggal 4–6 Maret 1991.
6.Pengertian paragraf
Sebuah paragraf (dari bahasa Yunani paragraphos, "menulis di samping" atau "tertulis di samping") adalah suatu jenis tulisan yang memiliki tujuan atau ide. Awal paragraf ditandai dengan masuknya ke baris baru. Terkadang baris pertama dimasukkan; kadang-kadang dimasukkan tanpa memulai baris baru. Dalam beberapa hal awal paragraf telah ditandai oleh pilcrow.
Sebuah paragraf biasanya terdiri dari pikiran, gagasan, atau ide pokok yang dibantu dengan kalimat pendukung. Paragraf non-fiksi biasanya dimulai dengan umum dan bergerak lebih spesifik sehingga dapat memunculkan argumen atau sudut pandang. Setiap paragraf berawal dari apa yang datang sebelumnya dan berhenti untuk dilanjutkan. Paragraf umumnya terdiri dari tiga hingga tujuh kalimat semuanya tergabung dalam pernyataan berparagraf tunggal. Dalam fiksi prosa, contohnya; tapi hal ini umum bila paragraf prosa terjadi di tengah atau di akhir. Sebuah paragraf dapat sependek satu kata atau berhalaman-halaman, dan dapat terdiri dari satu atau banyak kalimat. Ketika dialog dikutip dalam fiksi, paragraf baru digunakan setiap kali orang yang dikutip berganti.
a. Bahasa Yang Baik
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya dalam situasi yang santai dan akrab, seperti diwarung kopi, di pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahsa Indonesia yang santai dan akrab yang tidak terlalu terikat oleh patokan. Dalam situasi rwesmi dan formal, seperti dalam kuliah dan seminar, dalan sidang DPR, dan dalam pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal, yang selalu memperhatikan norma bahasa.
b. Bahasa Yang Benar
Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan dan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan pragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata diperhatikan dengan seksama dan penalaran ditaati dengan konsisten, pemakaian bahasa Indonesia dikatakan benar. Sebaliknya jika kaidah-kaidah bahasa itu kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar / tidak baku.
2.Kaidah dasar bahasa indonesia
A. Beberapa Kaidah Dasar Bahasa Indonesia
1. Kaidah Ejaan
Yang dimaksud dengan ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana anatara hubungan lambing-lambang itu. Secara teknis yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisa huruf, penulisan kata, dan penulisan tanda baca.
2. Kaidah penyusunan kalimat
Kalimat ialah suatu bagian yang selesai dengan menunjukkan pikiran yang lengkap. Yang dimaksud dengan pikiran yang lengkap adalah informasi yang didukung oleh pikiran yang utuh. Sekurang-kurangnya kalimat itu memiliki subjek dan pokok kalimat dan predikat atau sebutan.
3. Kaidah Penyusunan Pragraf
Pragraf adalah seperangkat kalimat yang membicarakan suatu gagasan atau topik.
Topik pragraf adalah pilihan utama di dalam seluruh pragraf pikiran utama merupakan pokok persoalan atau pokok pembicaraan.
4. Kaidah Pembentukan Kata
Ada dua cara pembentukan kata, yaitu dari dalam dan dari luar bahasa Indonesia. Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kata-kata baru dengan dasar kata yang sudah ada, sedangkan dari luar terbentuk kata baru melalui unsure serapan.
3.Bahasa indonesia baku
Bahasa baku atau bahasa standar adalah ragam bahasa yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat, dan rapat resmi. Bahasa baku terutama digunakan sebagai bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa baku umumnya ditegakkan melalui kamus (ejaan dan kosakata), tata bahasa, pelafalan, lembaga bahasa, status hukum, serta penggunaan di masyarakat (pemerintah, sekolah, dll).
4.Fungsi bahasa indonesia baku
Bahasa baku tidak dapat dipakai untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar keempat penggunaan itu, dipakai ragam takbaku.
5.Ejaan Yang Disempurnakan
Suatu ejaan yang sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan edisi kedua berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987, dicermatkan pada Rapat Kerja ke-30 Panitia Kerja Sama Kebahasaan di Tugu, tanggal 16–20 Desember 1990 dan diterima pada Sidang ke-30 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia di Bandar Seri Begawan, tanggal 4–6 Maret 1991.
6.Pengertian paragraf
Sebuah paragraf (dari bahasa Yunani paragraphos, "menulis di samping" atau "tertulis di samping") adalah suatu jenis tulisan yang memiliki tujuan atau ide. Awal paragraf ditandai dengan masuknya ke baris baru. Terkadang baris pertama dimasukkan; kadang-kadang dimasukkan tanpa memulai baris baru. Dalam beberapa hal awal paragraf telah ditandai oleh pilcrow.
Sebuah paragraf biasanya terdiri dari pikiran, gagasan, atau ide pokok yang dibantu dengan kalimat pendukung. Paragraf non-fiksi biasanya dimulai dengan umum dan bergerak lebih spesifik sehingga dapat memunculkan argumen atau sudut pandang. Setiap paragraf berawal dari apa yang datang sebelumnya dan berhenti untuk dilanjutkan. Paragraf umumnya terdiri dari tiga hingga tujuh kalimat semuanya tergabung dalam pernyataan berparagraf tunggal. Dalam fiksi prosa, contohnya; tapi hal ini umum bila paragraf prosa terjadi di tengah atau di akhir. Sebuah paragraf dapat sependek satu kata atau berhalaman-halaman, dan dapat terdiri dari satu atau banyak kalimat. Ketika dialog dikutip dalam fiksi, paragraf baru digunakan setiap kali orang yang dikutip berganti.
Rabu, 24 November 2010
islam dan ilmu pengetahuan
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Ahmad Nizar
Artikel ini diajukan untuk memenuhi tugas Ilmu Alamiah Dasar
Islam adalah agama akal dan hati nurani. Seseorang memahami kebenaran yang diberitakan oleh agama dengan menggunakan kearifannya, serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari alam di sekitarnya menggunakan hati nuraninya. Seseorang yang menggunakan akal dan hatinya dalam memahami sifat-sifat benda apa pun di alam semesta ini, bahkan meskipun ia bukan pakar dalam masalah tersebut, akan memahami bahwasanya itu semua diciptakan oleh Sang Pemilik Kebijaksanaan, Ilmu, dan Kekuasaan yang agung. Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim.
Bagian yang terbanyak dari pada ayat-ayat Al-Qur’an adalah perintah Allah kepada manusia agar menalari alam sekelilingnya. Dan setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung turun dari Allah SWT.
Umat Islam adalah umat ilmu pengetahuan. Sejak pertama diturunkan, Islam sangat menekankan pentingnya pengetahuan. Bahkan, wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada umat ini adalah perintah untuk menggali ilmu pengetahuan “Bacalah!”.
Ironisnya, umat Islam saat ini justru sangat tertinggal oleh umat atau bangsa lain dalam hal ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, sejak 100 tahun lalu, tidak ada muslim yang menerima hadiah Nobel kecuali dua orang: seorang ilmuwan Pakistan dan Dr. Ahmad Zuweil (sekarang ditambah dengan Muhamad Yunus Bangladesh, itupun nobel di bidang perdamaian dengan konsep Grameen Bank yang justru kontra-produktif dengan ajaran Islam karena masih memberlakukan riba). Pemenang hadiah Nobel saat ini, mayoritas didominasi oleh Barat seperti Amerika dan Inggris.
Mayoritas umat Islam di dunia menjadi bangsa yang terbelakang. Di Arab, negeri di mana Islam diturunkan, angka buta hurufnya mencapai 60%. Di Indonesia sendiri, jumlah penduduk yang buta huruf kemungkinan jauh lebih tinggi, yang dicerminkan oleh tingginya angka kemiskinan dan rendahnya human development index (HDI). Tak diragukan lagi, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dunia pada umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya disebabkan karena lunturnya citra umat Islam sebagai ‘umat ilmu pengetahuan’.
Pandangan al qur’an terhadap ilmu pengetahuan
Telah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah. Benar kiranya jika Al Qur’an disebut sebagai mukjizat. Bagaimana tidak, ternyata ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di abad ke 7 masehi di mana ilmu pengetahuan belum berkembang (saat itu orang mengira bumi itu rata dan matahari mengelilingi bumi), sesuai dengan ilmu pengetahuan modern yang baru-baru ini ditemukan oleh manusia. Sebagai contoh ayat di bawah:
Sebagai contoh, dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 30 Allah SWT berfirman: “Tidakkah orang-orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Tidakkah mereka percaya?”. Ayat yang diwahyukan Allah pada abad ke-7 ini baru jelas maknanya setelah ilmu kosmologi dan ilmu biologi berkembang pada abad ke-20. Saat itu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini. Kemudian ternyata benar segala yang bernyawa, termasuk tumbuhan bersel satu pasti mengandung air dan juga membutuhkan air. Keberadaan air adalah satu indikasi adanya kehidupan di suatu planet. Tanpa air, mustahil ada kehidupan. Inilah satu kebenaran ayat Al Qur’an.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu. “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al Qur’an, 21:33). Baru pada tahun 1929 dunia astronomi menyadari bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain, dan ini berarti bahwa alam semesta berada dalam keadaan berekspansi atau mengembang. Baru pada tahun 1965 ditemukan bukti-bukti ilmiah bahwa pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam tingkat kepadatan yang tidak terhingga (infinite density), lalu dengan proses Dentuman Akbar (Big Bang) pada sekitar 14 miliar tahun yang silam maka terciptalah alam semesta ini.
Demikian pula dunia biologi baru pada abad ke-20 mengetahui bahwa 80% penyusun sel-sel makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme) adalah air. Seluruh metabolisme dalam tubuh makhluk hidup hanya dapat berlangsung dalam lingkungan pelarut air. Kehidupan di muka bumi baru terbentuk setelah adanya air. Banyak makhluk hidup yang tidak memerlukan udara atau oksigen, tetapi tidak ada yang mampu survive tanpa air.
Masih banyak ayat Al-Qur’an tentang fenomena alam yang harus digali dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan intelektual Muslim. Kita sering lupa bahwa di samping ayat-ayat Qur’ani (yang tertulis dalam Al-Qur’an), terdapat lebih banyak lagi ayat-ayat Kauni, yaitu hukum-hukum Allah yang terdapat dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam Surat Fushshilat ayat 53, Allah SWT berfirman: “Akan Kami perlihatkan pada manusia ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam kehidupan mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar”.
Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences). Salah satu perintah Allah yang belum maksimal kita laksanakan adalah penguasaan ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan didasari iman dan taqwa (IMTAQ). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan adalah karena mewarisi dan meneruskan ilmu pengetahuan umat Islam di abad-abad pertengahan. Patut dicatat bahwa supremasi kaum Muslimin selama delapan abad jauh lebih lama daripada supremasi Barat sekarang (sejak abad ke-18). Dan umat Islam di mana saja diliputi oleh optimisme bahwa supremasi itu akan kembali ke tangan mereka, asalkan mereka konsisten kepada ajaran Al-Qur’an. Marilah kita perhatikan intisari ajaran Al-Qur’an tentang sains dan teknologi. Pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti (Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27). Kedua, manusia diperintahkan Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam semesta (Ali Imran 190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13). Ketiga, dalam memanfaatkan hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau membuat pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).
Tuntutan Islam dalam Menuntut Ilmu
Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi dalam buku Be Smart Muslim, hal yang pertama dilakukan oleh seorang muslim adalah membaca Alquran dengan baik dan memahami maknanya. Setelah itu, hadits, sirah Nabawiyah, dan figur-figur utama dalam sejarah Islam; ilmu-ilmu fikih yang utama agar ibadahnya benar (bagi yang tidak mendalami syariah).
Selain itu, Islam memberikan tuntutan dalam menuntut ilmu. Pertama, menjadi mahir dalam bidangnya, tidak boleh setengah-setengah baik dalam ilmu syariah, maupun ilmu umum lainnya seperti ekonomi, matematika dan fisika.
Kedua, bersikap terbuka terhadap informasi di bidang-bidang lain (up to date). Dengan demikian, seorang muslim merupakan pribadi yang mengetahui banyak hal dan memiliki wawasan yang luas.
Ketiga, menguasai bahasa asing. Dalam kaitannya sebagai seorang muslim, penguasaan Bahasa Arab merupakan sebuah keharusan disamping menguasai bahasa asing yang lain.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kita harus memiliki sikap-sikap intelektual yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Pertama, kritis terhadap permasalahan yang dihadapi, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. Kedua, bersedia menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana tercantum dalam Surat Az-Zumar ayat 18: “Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
Ketiga, menggunakan daya nazhar (nalar) semaksimal mungkin, sebagaimana tercantum dalam Surat Yunus ayat 101: “Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”.
Pemahaman terhadap hukum-hukum Allah di alam semesta akan semakin menyadarkan kita bahwa dunia yang fana ini mempunyai awal dan akhir, serta sesudah kehidupan dunia ini akan datang kehidupan akhirat yang abadi. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surat Ar-Ra`d ayat 2: “Allah telah meninggikan langit dengan tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian Dia berkuasa di atas `Arasy. Dia menyediakan matahari dan bulan, yang beredar sampai waktu yang ditentukan. Dia mengatur urusan alam semesta. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”
Pada titik penting dalam sejarah saat ini, kita kaum Muslim memiliki tanggung jawab penting. Berkat globalisasi, dunia tengah berubah menjadi panggung pentas bagi berbagai pemikiran di mana semua sekat dan batas telah terangkat, dan dalam lingkungan ini kita kaum Muslim, sebagai wakil agama yang benar, perlu melancarkan suatu perjuangan besar di bidang budaya dan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan kebenaran Islam.
Kaum Muslim tidak boleh tampil sebagai sosok yang bermusuhan terhadap dunia, sebagai orang yang berpandangan sempit dan keras. Sebaliknya, mereka harus memimpin seluruh dunia dalam hal akhlak, ilmu pengetahuan, pemikiran dan seni. Oleh karena satu-satunya jawaban adalah akhlak Al Qur’an, maka sebuah tanggung jawab besar dan penting jatuh ke pundak orang-orang yang berhati nurani bersih untuk menerangkan Al Qur’an kepada setiap orang dan untuk melancarkan perlawanan ilmiah, serta berusaha keras mengenyahkan Darwinisme, suatu pemikiran materialis yang bertentangan dengan Al Qur’an.
Oleh: Ahmad Nizar
Artikel ini diajukan untuk memenuhi tugas Ilmu Alamiah Dasar
Islam adalah agama akal dan hati nurani. Seseorang memahami kebenaran yang diberitakan oleh agama dengan menggunakan kearifannya, serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari alam di sekitarnya menggunakan hati nuraninya. Seseorang yang menggunakan akal dan hatinya dalam memahami sifat-sifat benda apa pun di alam semesta ini, bahkan meskipun ia bukan pakar dalam masalah tersebut, akan memahami bahwasanya itu semua diciptakan oleh Sang Pemilik Kebijaksanaan, Ilmu, dan Kekuasaan yang agung. Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim.
Bagian yang terbanyak dari pada ayat-ayat Al-Qur’an adalah perintah Allah kepada manusia agar menalari alam sekelilingnya. Dan setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung turun dari Allah SWT.
Umat Islam adalah umat ilmu pengetahuan. Sejak pertama diturunkan, Islam sangat menekankan pentingnya pengetahuan. Bahkan, wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada umat ini adalah perintah untuk menggali ilmu pengetahuan “Bacalah!”.
Ironisnya, umat Islam saat ini justru sangat tertinggal oleh umat atau bangsa lain dalam hal ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, sejak 100 tahun lalu, tidak ada muslim yang menerima hadiah Nobel kecuali dua orang: seorang ilmuwan Pakistan dan Dr. Ahmad Zuweil (sekarang ditambah dengan Muhamad Yunus Bangladesh, itupun nobel di bidang perdamaian dengan konsep Grameen Bank yang justru kontra-produktif dengan ajaran Islam karena masih memberlakukan riba). Pemenang hadiah Nobel saat ini, mayoritas didominasi oleh Barat seperti Amerika dan Inggris.
Mayoritas umat Islam di dunia menjadi bangsa yang terbelakang. Di Arab, negeri di mana Islam diturunkan, angka buta hurufnya mencapai 60%. Di Indonesia sendiri, jumlah penduduk yang buta huruf kemungkinan jauh lebih tinggi, yang dicerminkan oleh tingginya angka kemiskinan dan rendahnya human development index (HDI). Tak diragukan lagi, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dunia pada umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya disebabkan karena lunturnya citra umat Islam sebagai ‘umat ilmu pengetahuan’.
Pandangan al qur’an terhadap ilmu pengetahuan
Telah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah. Benar kiranya jika Al Qur’an disebut sebagai mukjizat. Bagaimana tidak, ternyata ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di abad ke 7 masehi di mana ilmu pengetahuan belum berkembang (saat itu orang mengira bumi itu rata dan matahari mengelilingi bumi), sesuai dengan ilmu pengetahuan modern yang baru-baru ini ditemukan oleh manusia. Sebagai contoh ayat di bawah:
Sebagai contoh, dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 30 Allah SWT berfirman: “Tidakkah orang-orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Tidakkah mereka percaya?”. Ayat yang diwahyukan Allah pada abad ke-7 ini baru jelas maknanya setelah ilmu kosmologi dan ilmu biologi berkembang pada abad ke-20. Saat itu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini. Kemudian ternyata benar segala yang bernyawa, termasuk tumbuhan bersel satu pasti mengandung air dan juga membutuhkan air. Keberadaan air adalah satu indikasi adanya kehidupan di suatu planet. Tanpa air, mustahil ada kehidupan. Inilah satu kebenaran ayat Al Qur’an.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu. “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al Qur’an, 21:33). Baru pada tahun 1929 dunia astronomi menyadari bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain, dan ini berarti bahwa alam semesta berada dalam keadaan berekspansi atau mengembang. Baru pada tahun 1965 ditemukan bukti-bukti ilmiah bahwa pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam tingkat kepadatan yang tidak terhingga (infinite density), lalu dengan proses Dentuman Akbar (Big Bang) pada sekitar 14 miliar tahun yang silam maka terciptalah alam semesta ini.
Demikian pula dunia biologi baru pada abad ke-20 mengetahui bahwa 80% penyusun sel-sel makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme) adalah air. Seluruh metabolisme dalam tubuh makhluk hidup hanya dapat berlangsung dalam lingkungan pelarut air. Kehidupan di muka bumi baru terbentuk setelah adanya air. Banyak makhluk hidup yang tidak memerlukan udara atau oksigen, tetapi tidak ada yang mampu survive tanpa air.
Masih banyak ayat Al-Qur’an tentang fenomena alam yang harus digali dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan intelektual Muslim. Kita sering lupa bahwa di samping ayat-ayat Qur’ani (yang tertulis dalam Al-Qur’an), terdapat lebih banyak lagi ayat-ayat Kauni, yaitu hukum-hukum Allah yang terdapat dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam Surat Fushshilat ayat 53, Allah SWT berfirman: “Akan Kami perlihatkan pada manusia ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam kehidupan mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar”.
Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences). Salah satu perintah Allah yang belum maksimal kita laksanakan adalah penguasaan ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan didasari iman dan taqwa (IMTAQ). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan adalah karena mewarisi dan meneruskan ilmu pengetahuan umat Islam di abad-abad pertengahan. Patut dicatat bahwa supremasi kaum Muslimin selama delapan abad jauh lebih lama daripada supremasi Barat sekarang (sejak abad ke-18). Dan umat Islam di mana saja diliputi oleh optimisme bahwa supremasi itu akan kembali ke tangan mereka, asalkan mereka konsisten kepada ajaran Al-Qur’an. Marilah kita perhatikan intisari ajaran Al-Qur’an tentang sains dan teknologi. Pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti (Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27). Kedua, manusia diperintahkan Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam semesta (Ali Imran 190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13). Ketiga, dalam memanfaatkan hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau membuat pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).
Tuntutan Islam dalam Menuntut Ilmu
Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi dalam buku Be Smart Muslim, hal yang pertama dilakukan oleh seorang muslim adalah membaca Alquran dengan baik dan memahami maknanya. Setelah itu, hadits, sirah Nabawiyah, dan figur-figur utama dalam sejarah Islam; ilmu-ilmu fikih yang utama agar ibadahnya benar (bagi yang tidak mendalami syariah).
Selain itu, Islam memberikan tuntutan dalam menuntut ilmu. Pertama, menjadi mahir dalam bidangnya, tidak boleh setengah-setengah baik dalam ilmu syariah, maupun ilmu umum lainnya seperti ekonomi, matematika dan fisika.
Kedua, bersikap terbuka terhadap informasi di bidang-bidang lain (up to date). Dengan demikian, seorang muslim merupakan pribadi yang mengetahui banyak hal dan memiliki wawasan yang luas.
Ketiga, menguasai bahasa asing. Dalam kaitannya sebagai seorang muslim, penguasaan Bahasa Arab merupakan sebuah keharusan disamping menguasai bahasa asing yang lain.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kita harus memiliki sikap-sikap intelektual yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Pertama, kritis terhadap permasalahan yang dihadapi, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. Kedua, bersedia menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana tercantum dalam Surat Az-Zumar ayat 18: “Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
Ketiga, menggunakan daya nazhar (nalar) semaksimal mungkin, sebagaimana tercantum dalam Surat Yunus ayat 101: “Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”.
Pemahaman terhadap hukum-hukum Allah di alam semesta akan semakin menyadarkan kita bahwa dunia yang fana ini mempunyai awal dan akhir, serta sesudah kehidupan dunia ini akan datang kehidupan akhirat yang abadi. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surat Ar-Ra`d ayat 2: “Allah telah meninggikan langit dengan tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian Dia berkuasa di atas `Arasy. Dia menyediakan matahari dan bulan, yang beredar sampai waktu yang ditentukan. Dia mengatur urusan alam semesta. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”
Pada titik penting dalam sejarah saat ini, kita kaum Muslim memiliki tanggung jawab penting. Berkat globalisasi, dunia tengah berubah menjadi panggung pentas bagi berbagai pemikiran di mana semua sekat dan batas telah terangkat, dan dalam lingkungan ini kita kaum Muslim, sebagai wakil agama yang benar, perlu melancarkan suatu perjuangan besar di bidang budaya dan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan kebenaran Islam.
Kaum Muslim tidak boleh tampil sebagai sosok yang bermusuhan terhadap dunia, sebagai orang yang berpandangan sempit dan keras. Sebaliknya, mereka harus memimpin seluruh dunia dalam hal akhlak, ilmu pengetahuan, pemikiran dan seni. Oleh karena satu-satunya jawaban adalah akhlak Al Qur’an, maka sebuah tanggung jawab besar dan penting jatuh ke pundak orang-orang yang berhati nurani bersih untuk menerangkan Al Qur’an kepada setiap orang dan untuk melancarkan perlawanan ilmiah, serta berusaha keras mengenyahkan Darwinisme, suatu pemikiran materialis yang bertentangan dengan Al Qur’an.
Kamis, 18 November 2010
ibnu qoyyim al-jauzy
I. PENDAHULUAN
buat sendiri ya…………
II. RUMUSAN MASALAH
A. biografi ibnu qoyyim al- jauzi
B. pemikiran ibnu qoyyim al- jauzi
C. pandangan ibnu qoyyim al- jauzi tentang zuhud
III. PEMBAHASAN
A. biografi ibnu qoyyim al- jauzi
Nama sebenarnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.[1]
Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya tentang madzhab-madzhab Salaf.
Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.
Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.
Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam fiqrah Islamiyah.
Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk mencari ilmu serta bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap Ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai Hadits, makna hadits, pemahaman serta Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.
Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam asy-syarifah.
Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.
Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak berdo’a.[2]
Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.[3]
Ibnul Qayyim rahimahullah merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau mengambil semua ilmu dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.
Beliau telah menyusun kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu, keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.
Beliau rahimahullah memang benar-benar merupakan kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang mempunyai prinsip dan beliau ingin agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau bekerja keras demi pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Buku-buku karangannya banyak sekali, baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai kitab-kitab salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai sepersepuluhnya. Beliau teramat senang mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai orang yang telah mewariskan banyak kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas; ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.
Beberapa Karyanya
1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh berbagai pihak.[4]
B. Pemikiran ibnu qoyyim al- jauzy
Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau mempergunakan teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Hadirnya Imam Ibnul Qayyim benar-benar tepat ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa kegoncangan dan kekacauan (pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya kekacauan dari luar yang mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah jika anda lihat Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.
Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah, Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (itu) melihat bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itulah yang haq.” (Saba’:6).
Qotadah mengatakan, “Mereka (orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.
Mengenai pernyataan beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab yang empat, maka kita memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul Qayyim rahimahullah amat terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau menyelisihi madzhab Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau bersepakat dengan berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam dalam berbagai persoalan lainnya.
Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala sedang berargumentasi.
Di antara da’wahnya yang paling menonjol adalah da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi.
Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).[5]
C. Pandangan ibnu qoyyim tentang zuhud
Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan
hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.
Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya. Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat."
Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara'. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."
Dia juga berkata, "Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia." Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia
dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."
Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak menda-pat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini: Harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik. Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam adalah orang yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka.[6]
Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’ Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.[7]
IV. KESIMPULAN
Nama sebenarnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan
hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.
Foot note
[1] Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir,
[2] Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-Arna`uth,
[3] Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani,
[4] Bughyatul Wu’at karya Suyuthi,
[5] Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad,
[6] Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
[7] Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi,
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir,
[2] Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-Arna`uth,
[3] Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani,
[4] Bughyatul Wu’at karya Suyuthi,
[5] Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad,
[6] Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
[7] Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi,
buat sendiri ya…………
II. RUMUSAN MASALAH
A. biografi ibnu qoyyim al- jauzi
B. pemikiran ibnu qoyyim al- jauzi
C. pandangan ibnu qoyyim al- jauzi tentang zuhud
III. PEMBAHASAN
A. biografi ibnu qoyyim al- jauzi
Nama sebenarnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.[1]
Ia belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya tentang madzhab-madzhab Salaf.
Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.
Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.
Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam fiqrah Islamiyah.
Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk mencari ilmu serta bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap Ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai Hadits, makna hadits, pemahaman serta Istinbath-Istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.
Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam asy-syarifah.
Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).
Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.
Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak berdo’a.[2]
Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.[3]
Ibnul Qayyim rahimahullah merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau mengambil semua ilmu dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.
Beliau telah menyusun kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu, keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.
Beliau rahimahullah memang benar-benar merupakan kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang mempunyai prinsip dan beliau ingin agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau bekerja keras demi pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Buku-buku karangannya banyak sekali, baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai kitab-kitab salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai sepersepuluhnya. Beliau teramat senang mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai orang yang telah mewariskan banyak kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas; ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.
Beberapa Karyanya
1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh berbagai pihak.[4]
B. Pemikiran ibnu qoyyim al- jauzy
Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau mempergunakan teori-teori kaum filosof.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Hadirnya Imam Ibnul Qayyim benar-benar tepat ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa kegoncangan dan kekacauan (pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya kekacauan dari luar yang mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah jika anda lihat Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.
Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah, Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (itu) melihat bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itulah yang haq.” (Saba’:6).
Qotadah mengatakan, “Mereka (orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.
Mengenai pernyataan beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab yang empat, maka kita memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul Qayyim rahimahullah amat terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau menyelisihi madzhab Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau bersepakat dengan berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam dalam berbagai persoalan lainnya.
Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala sedang berargumentasi.
Di antara da’wahnya yang paling menonjol adalah da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi.
Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).[5]
C. Pandangan ibnu qoyyim tentang zuhud
Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan
hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.
Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masing-masing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya. Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat."
Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk istilah zuhud dan wara'. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."
Dia juga berkata, "Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia." Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia
dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."
Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak menda-pat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini: Harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik. Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam adalah orang yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka.[6]
Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya’ tanggal 13 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami’ Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami’ Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.[7]
IV. KESIMPULAN
Nama sebenarnya adalah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.
Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”
Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan
hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.
Foot note
[1] Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir,
[2] Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-Arna`uth,
[3] Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani,
[4] Bughyatul Wu’at karya Suyuthi,
[5] Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad,
[6] Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
[7] Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi,
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir,
[2] Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-Arna`uth,
[3] Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani,
[4] Bughyatul Wu’at karya Suyuthi,
[5] Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad,
[6] Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
[7] Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi,
Senin, 18 Oktober 2010
MISI AJARAN ISLAM
I. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna dan universal, ia berlaku sepanjang waktu, kapanpun dan di manapun (al-Islâm shâlih li kul zamân wa al-makân), Islam berlaku untuk semua orang dan untuk seluruh dunia. Dalam agama islam terdapat ajaran-ajaran yang dapat mengantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Karena islam diturunkan bukan hanya sebagai pelengkap hidup manusia saja tetapi juga mengemban beberapa misi untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan ahirat. Berikut dalam ini akan dijelaskan tentang pengrtian aqgama islam dan misi ajaran islam.
II. Rumusan Masalah
A. Pengertian Agama Islam
B. Misi Ajaran Islam
III. Pembahasan
A. pengertian agama islam
Sebelum kita membahas masalah pengertian agama islam alangkah baiknya kita membahas pengertian agama dahulu. Harun nasution mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui para rosulnya.[1] Mohammad daud ali mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan dia melaui upacara, penyembahan, permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasar ajaran agama itu.[2] JG. Frazer agama adalah sesuatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.[3] Sedangkan M. quraisyihab menyadari akan kerumitan dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya, tetapi sangat sulit memberikan batasan atau definisi yang tepat yang bias diterima semua pihak.[4]
Islam adalah kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), berasal dari kata salama yang artinya patuh atau menerima, berakar dari huruf sin, lam, mim, (S-L-M). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, tidak bercatat. Jadi secara singkat Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan. Islam juga sebagai agama wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek kehidupannya.[5]
Sedangkan agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat.[6]
B. Misi Ajaran Islam
a. Misi Aqidah
Kata aqidah bersala dari bahasa aqada- ya’qidu- aqdan artinya mengikat tali, mengkokohkan janji, dan menyatakan ikatan jual beli. Juga bendingkan ‘aqida- ya’qodu- ‘aqadan artinya cara bicara terpatah-patah (gagap), terikat, hasil kesepakatan, berjanji setia, menyerahkan urusan pada orang lain karena ia dipercaya dipercaya, persetujuan, dalil, alas an, ikatan nikah, kalung leher, sukar, sulit, dan teka-teki.[7]
Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.[8]
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.[9]
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang berbunyi;
….ومن لم يحكم بما أنزل الله فألئك هم الكافرون
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS al-Maidah/ 5: 44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah.
Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.[10]
b. Misi Ibadah
Ibadah berasal dari kata العبد yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata العبادة yang berarti إظهار التذلل (memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan).[11] Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah.[12]
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.
Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan (ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.[13]
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.[14]
c. Misi Akhlak
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari الخلق (al-khuluq) yang berarti القوى والسجايا المدركة بالبصيرة (kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin).[15] Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.[16] Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk dari jiwa tauhid.[17]
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.
d. Misi Mu’amalah
Secara etimologi muamalah semakna dengan مفاعلة yang berarti saling berbuat. Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.[18]
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-tanduk manusia yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah muamalah atau yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing. Walau semua itu diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep dan prinsip-prinsip umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, maka seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan apa yang telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits.
Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, antara lain yaitu:
1) Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan ibadah. Dalam persoalan aqidah, syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di bidang ibadah dan bahkan prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.
2) Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.[19]
Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah, mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain seperti hiwâlah, ijârah, ariyah, al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.
IV. Kesimpulan
Agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat. Sedangkan ajaran islam memiliki misi sebagai berikit:
a. Aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.
b. Ibadah adalah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
c. Akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.
d. Muamalah adalah tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing.
V. Penutup
Demikian makalah yang dapat saya haturkan, sesungguhnya tidak ada kesempurnaan kecuali milik Allah SWT. Oleh karena itu sangat kami harapkan saran, kritik dan masukkan yang konstruktif, untuk perbaikan penulisan saya kedepan. Semoga makalah ini bisa memberikan kita khazanah dan bermanfaat bagi kita semua. Amin…
Foot Note
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III, hlm. 10
[2] Moh. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998, Hlm. 40-45
[3] H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI, hlm. 5
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997), hlm. 209
[5] Prof. Dr. Amin Syukur, M.A, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006), hlm. 32
[6] Ajat sudrajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008), hlm. 34
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996) hlm. 274- 275
[8]Abdul Aziz Dahlan (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I, hlm. 78
[9] Nazaruddin Razak, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 119-176
[10] Harun Nasution,op.Cit, hlm. 31
[11] Mahmud yunus, op. cit, hlm. 354
[12] Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid II, hlm. 592
[13] Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, op.cit., hlm. 276-277
[14] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 177-240
[15] Abdul Aziz Dahlan (ed), op.cit., hlm. 593 – 594
[16] Mahmud yunus, op.cit, hlm. 460
[17] Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid I, hlm. 75
[18] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 39
[19]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1, h. vii; Lihat juga Rozalinda, Fiqh Muamalah, dan Aplikasinya pada Perbankan Syari’ah, (Padang: Hayva Pres, 2005), cet. ke-1, hlm. 3
[20] Nasrun Haroen, Ibid, h. xi – xii
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III
Ali, Moh. Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998
Arifin, H.M, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997)
Syukur, Amin, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006)
sudrajat, Ajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I
Razak, Nazaruddin, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993)
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1
Islam adalah agama yang sempurna dan universal, ia berlaku sepanjang waktu, kapanpun dan di manapun (al-Islâm shâlih li kul zamân wa al-makân), Islam berlaku untuk semua orang dan untuk seluruh dunia. Dalam agama islam terdapat ajaran-ajaran yang dapat mengantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Karena islam diturunkan bukan hanya sebagai pelengkap hidup manusia saja tetapi juga mengemban beberapa misi untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan ahirat. Berikut dalam ini akan dijelaskan tentang pengrtian aqgama islam dan misi ajaran islam.
II. Rumusan Masalah
A. Pengertian Agama Islam
B. Misi Ajaran Islam
III. Pembahasan
A. pengertian agama islam
Sebelum kita membahas masalah pengertian agama islam alangkah baiknya kita membahas pengertian agama dahulu. Harun nasution mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui para rosulnya.[1] Mohammad daud ali mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan dia melaui upacara, penyembahan, permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasar ajaran agama itu.[2] JG. Frazer agama adalah sesuatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.[3] Sedangkan M. quraisyihab menyadari akan kerumitan dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya, tetapi sangat sulit memberikan batasan atau definisi yang tepat yang bias diterima semua pihak.[4]
Islam adalah kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan, ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), berasal dari kata salama yang artinya patuh atau menerima, berakar dari huruf sin, lam, mim, (S-L-M). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, tidak bercatat. Jadi secara singkat Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan dan kepatuhan. Islam juga sebagai agama wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek kehidupannya.[5]
Sedangkan agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat.[6]
B. Misi Ajaran Islam
a. Misi Aqidah
Kata aqidah bersala dari bahasa aqada- ya’qidu- aqdan artinya mengikat tali, mengkokohkan janji, dan menyatakan ikatan jual beli. Juga bendingkan ‘aqida- ya’qodu- ‘aqadan artinya cara bicara terpatah-patah (gagap), terikat, hasil kesepakatan, berjanji setia, menyerahkan urusan pada orang lain karena ia dipercaya dipercaya, persetujuan, dalil, alas an, ikatan nikah, kalung leher, sukar, sulit, dan teka-teki.[7]
Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.[8]
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat digambarkan bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.[9]
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang berbunyi;
….ومن لم يحكم بما أنزل الله فألئك هم الكافرون
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS al-Maidah/ 5: 44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah.
Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.[10]
b. Misi Ibadah
Ibadah berasal dari kata العبد yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata العبادة yang berarti إظهار التذلل (memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan).[11] Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah.[12]
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.
Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan (fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan (ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.[13]
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.[14]
c. Misi Akhlak
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari الخلق (al-khuluq) yang berarti القوى والسجايا المدركة بالبصيرة (kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin).[15] Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.[16] Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk dari jiwa tauhid.[17]
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan.
d. Misi Mu’amalah
Secara etimologi muamalah semakna dengan مفاعلة yang berarti saling berbuat. Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.[18]
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-tanduk manusia yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah muamalah atau yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing. Walau semua itu diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep dan prinsip-prinsip umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, maka seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan apa yang telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits.
Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, antara lain yaitu:
1) Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan ibadah. Dalam persoalan aqidah, syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di bidang ibadah dan bahkan prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.
2) Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.[19]
Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah, mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain seperti hiwâlah, ijârah, ariyah, al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.
IV. Kesimpulan
Agama islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan allah kepada para rosul- rosulnya dan disempurnakan pada rosul Muhammad, yang berisi undang-undang dan metode kehidupan yang mengatur dan mengrahkan begaimana manusia berhubungan dengan allah, menusia dengan manusia, dengan manusia, dan menusia dan alam semesta, agar kehidupan manusia terbina dan dapat meraih kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan ahirat. Sedangkan ajaran islam memiliki misi sebagai berikit:
a. Aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti kepercayaan atau keyakinan.
b. Ibadah adalah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak.
c. Akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan.
d. Muamalah adalah tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya masing-masing.
V. Penutup
Demikian makalah yang dapat saya haturkan, sesungguhnya tidak ada kesempurnaan kecuali milik Allah SWT. Oleh karena itu sangat kami harapkan saran, kritik dan masukkan yang konstruktif, untuk perbaikan penulisan saya kedepan. Semoga makalah ini bisa memberikan kita khazanah dan bermanfaat bagi kita semua. Amin…
Foot Note
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III, hlm. 10
[2] Moh. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998, Hlm. 40-45
[3] H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI, hlm. 5
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997), hlm. 209
[5] Prof. Dr. Amin Syukur, M.A, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006), hlm. 32
[6] Ajat sudrajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008), hlm. 34
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996) hlm. 274- 275
[8]Abdul Aziz Dahlan (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I, hlm. 78
[9] Nazaruddin Razak, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 119-176
[10] Harun Nasution,op.Cit, hlm. 31
[11] Mahmud yunus, op. cit, hlm. 354
[12] Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid II, hlm. 592
[13] Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, op.cit., hlm. 276-277
[14] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 177-240
[15] Abdul Aziz Dahlan (ed), op.cit., hlm. 593 – 594
[16] Mahmud yunus, op.cit, hlm. 460
[17] Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid I, hlm. 75
[18] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 39
[19]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1, h. vii; Lihat juga Rozalinda, Fiqh Muamalah, dan Aplikasinya pada Perbankan Syari’ah, (Padang: Hayva Pres, 2005), cet. ke-1, hlm. 3
[20] Nasrun Haroen, Ibid, h. xi – xii
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta: UI press, 1979), cet. III
Ali, Moh. Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Raja Grafindo persada, 1998
Arifin, H.M, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), cet. VI
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al- Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (bandung: mizan, 1997)
Syukur, Amin, Pengantar Studi Islam, (Semarang: PT. Lembkota, 2006)
sudrajat, Ajat, dkk, Din Al- islam, Pendidikan Agama Islam Diperguruan Tinggi Umum, (Yogyakarta: UNY press, 2008)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996)
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I
Razak, Nazaruddin, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993)
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1
Minggu, 10 Oktober 2010
pengertian pendidikan secara sempit dan luas
I. Pendahuluan
Kita sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi karena kita bergerak di bidang pendidikan. Juga pasti kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Tetapi seringkali orang melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya. Karena itu benarlah kalau dikatakan bahwa setiap orang yang terlihat dalam dunia pendidikan sepatutnyalah selalu merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi sebagai buah refleksinya. Makalah singkat ini mencoba mengungkap makna education, Tarbiyah, pendidikan yang terkadang dimaknai secara sempit. Padahal pendidikan memiliki makna yang amat luas.
II. Rumusan Masalah
A. Pendidikan menurut bahasa dan istilah
B. Pendidikan dalam arti sempit
C. Pendidikan dalam arti luas
III. Pembahasan
A. Pendidikan menurut bahasa dan istilah
Pendidikan menurut bahasa Yunani : berasal dari kata pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children). Sedangkan dalam bahasa Romawi: pendidikan berasal dari kata educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
Sedangkan pendidikan menurut istilah adalah menurut UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989 : "Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/latihan bagi peranannya di masa yang akan datang".[1] Sedangkan menurut UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[2]
Menurut para ahli, definisi pendidikan adalah "Berbagai upaya dan usaha yang dilakukan orang dewasa untuk mendidik nalar peserta didik dan mengatur moral mereka".[3] Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Paulo Freire ia mengatakan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, damana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.[4]
Jadi pendidikan menurut istilah adalah Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya yang menyesuaikan dengan lingkungan yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat. Untuk pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju kedewasaan.
B. Pendidikan dalam arti sempit
Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat.[5] Namun pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah (pengajaran yang di selenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal, segala pengaruh yang di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka).[6]
Dalam arti sempit, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan dalam arti sempit ditentukan oleh pihak luar individu peserta didik. Sebagaimana kita maklumi, tujuan pendidikan suatu sekolah atau tujuan pendidikan suatu kegiatan belajar-mengajar di sekolah tidak dirumuskan dan ditetapkan oleh para siswanya.
2. Lamanya waktu pendidikan bagi setiap individu dalam masyarakat cukup bervariasi, mungkin kurang atau sama dengan enam tahun, sembilan tahun bahkan lebih dari itu. Namun demikian terdapat titik terminal pendidikan yang ditetapkan dalam satuan waktu.
Pendidikan dilaksanakan di sekolah atau di dalam lingkungan khusus yang diciptakan secara sengaja untuk pendidikan dalam konteks program pendidikan sekolah. Dalam pengertian sempit, pendidikan hanyalah bagi mereka yang menjadi peserta didik (siswa/mahasiswa) dari suatu lembaga pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi). Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar yang terprogram dan bersifat formal atau disengaja untuk pendidikan dan terkontrol. Dalam pengertian sempit, pendidik bagi para siswa terbatas pada pendidik profesional atau guru.
Setiap disiplin ilmu memiliki objek formal yang berbeda.
a. Berdasarkan hasil studi terhadap objek formalnya masing-masing, setiap disiplin ilmu menghasilkan perbedaan pula mengenai konsep atau definisi yang identik dengan pendidikan.
b. Berdasarkan pendekatan sosiologi, pendidikan identik dengan sosialisasi (socialization).
c. Berdasarkan pendekatan antropologi, pendidikan identik dengan enkulturasi (enculturation).
d. Berdasarkan pendekatan ekonomi, pendidikan identik dengan penanaman modal pada diri manusia (human investment).
e. Berdasarkan pendekatan politik, pendidikan identik dengan civilisasi (civilization).
f. Berdasarkan pendekatan psikologis, pendidikan identik dengan personalisasi atau individualisasi (personalization atau individualization).
g. Berdasarkan pendekatan biologi, pendidikan identik dengan adaptasi (adaptation).[7]
C. Pendidikan dalam arti luas
Sedangkan pendidikan dalam arti makro (luas) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu/ pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya.[8] Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir).[9]
Jadi pendidikan dalam arti luas, hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup (life is education, and education is life). Maksudnya bahwa pendidikan adalah segala pengalaman hidup (belajar) dalam berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi pertumbuhan atau perkembangan individu.
Dalam arti luas, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup individu, tidak ditentukan oleh orang lain,
b. Pendidikan berlangsung kapan pun, artinya berlangsung sepanjang hayat (life long education). Karena itu pendidikan berlangsung dalam konteks hubungan individu yang bersifat multi dimensi, baik dalam hubungan individu dengan Tuhannya, sesama manusia, alam, bahkan dengan dirinya sendiri.
c. Dalam hubungan yang besifat multi dimensi itu, pendidikan berlangsung melalui berbagai bentuk kegiatan, tindakan, dan kejadian, baik yang pada awalnya disengaja untuk pendidikan maupun yang tidak disengaja untuk pendidikan.
d. Pendidikan berlangsung bagi siapa pun. Setiap individu anak-anak atau pun orang dewasa, siswa/mahasiswa atau pun bukan siswa/ mahasiswa dididik atau mendidik diri.
e. Pendidikan berlangsung dimana pun. Pendidikan tidak terbatas pada schooling saja. Pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan di dalam lingkungan alam dimana individu berada. Pendidik bagi individu tidak terbatas pada pendidik profesional.[10]
IV. Kesimpulan
Pendidikan menurut bahasa Yunani : berasal dari kata pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing.
Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Namun pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah (pengajaran yang di selenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal, segala pengaruh yang di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka).
Sedangkan pendidikan dalam arti makro (luas) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu/ pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir).
V. Penutup
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi Rabb atas pertolongan-Nyalah penyusunan makalah ini dapat selesai tepat waktu. namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari sisi substansi isi maupun teknis penulisan. itu semua terpulang kepada kami dan secara akademik menjadi tanggung jawab kami pula. Untuk itu segala bentuk saran, masukan, koreksi maupun kritik sangat kami nantikan dan harapkan dalam kerangka mencari kebenaran serta guna memperbaiki kualitas makalah ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami berharap walau ibarat setetes air di samudra luas makalah ini dapat menjadi sarana menambah ilmu yang bermanfaat. amin.
Foot note
[1]UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989
[2]UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003
[3]Warta Politeknik Negeri Jakarta, April 2007
[4]Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Yogyakarta: LP3ES, 1999), hlm. 26
[5]Hadikusumo, Kunaryo,dkk, Pengantar Pendidikan, (Semarang : IKIP Semarang Press, 1996), hlm. 36
[6]Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 55
[7]http://sulipan.wordpress.com/2009/10/02/pengertian-pendidikan-berdasarkan-lingkupnya-dan-berdasarkan-pendekatan-monodisipliner/
[8]Hadikusumo, Kunaryo,dkk. Op. Cit, hlm. 40
[9]Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. Op. Cit, hlm. 62
[10] http://sulipan.wordpress.com, Op. Cit
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusumo, Kunaryo, dkk, Pengantar Pendidikan, Semarang : IKIP Semarang Press, 1996
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Yogyakarta: LP3ES, 1999
Umar, Tirtarahardja dan La Sulo, S.L. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005
UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989
UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003
Warta Politeknik Negeri Jakarta, April 2007
Kita sepakat bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi karena kita bergerak di bidang pendidikan. Juga pasti kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Tetapi seringkali orang melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya. Karena itu benarlah kalau dikatakan bahwa setiap orang yang terlihat dalam dunia pendidikan sepatutnyalah selalu merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi sebagai buah refleksinya. Makalah singkat ini mencoba mengungkap makna education, Tarbiyah, pendidikan yang terkadang dimaknai secara sempit. Padahal pendidikan memiliki makna yang amat luas.
II. Rumusan Masalah
A. Pendidikan menurut bahasa dan istilah
B. Pendidikan dalam arti sempit
C. Pendidikan dalam arti luas
III. Pembahasan
A. Pendidikan menurut bahasa dan istilah
Pendidikan menurut bahasa Yunani : berasal dari kata pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children). Sedangkan dalam bahasa Romawi: pendidikan berasal dari kata educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
Sedangkan pendidikan menurut istilah adalah menurut UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989 : "Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/latihan bagi peranannya di masa yang akan datang".[1] Sedangkan menurut UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[2]
Menurut para ahli, definisi pendidikan adalah "Berbagai upaya dan usaha yang dilakukan orang dewasa untuk mendidik nalar peserta didik dan mengatur moral mereka".[3] Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Paulo Freire ia mengatakan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, damana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.[4]
Jadi pendidikan menurut istilah adalah Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya yang menyesuaikan dengan lingkungan yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat. Untuk pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju kedewasaan.
B. Pendidikan dalam arti sempit
Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat.[5] Namun pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah (pengajaran yang di selenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal, segala pengaruh yang di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka).[6]
Dalam arti sempit, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan dalam arti sempit ditentukan oleh pihak luar individu peserta didik. Sebagaimana kita maklumi, tujuan pendidikan suatu sekolah atau tujuan pendidikan suatu kegiatan belajar-mengajar di sekolah tidak dirumuskan dan ditetapkan oleh para siswanya.
2. Lamanya waktu pendidikan bagi setiap individu dalam masyarakat cukup bervariasi, mungkin kurang atau sama dengan enam tahun, sembilan tahun bahkan lebih dari itu. Namun demikian terdapat titik terminal pendidikan yang ditetapkan dalam satuan waktu.
Pendidikan dilaksanakan di sekolah atau di dalam lingkungan khusus yang diciptakan secara sengaja untuk pendidikan dalam konteks program pendidikan sekolah. Dalam pengertian sempit, pendidikan hanyalah bagi mereka yang menjadi peserta didik (siswa/mahasiswa) dari suatu lembaga pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi). Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar yang terprogram dan bersifat formal atau disengaja untuk pendidikan dan terkontrol. Dalam pengertian sempit, pendidik bagi para siswa terbatas pada pendidik profesional atau guru.
Setiap disiplin ilmu memiliki objek formal yang berbeda.
a. Berdasarkan hasil studi terhadap objek formalnya masing-masing, setiap disiplin ilmu menghasilkan perbedaan pula mengenai konsep atau definisi yang identik dengan pendidikan.
b. Berdasarkan pendekatan sosiologi, pendidikan identik dengan sosialisasi (socialization).
c. Berdasarkan pendekatan antropologi, pendidikan identik dengan enkulturasi (enculturation).
d. Berdasarkan pendekatan ekonomi, pendidikan identik dengan penanaman modal pada diri manusia (human investment).
e. Berdasarkan pendekatan politik, pendidikan identik dengan civilisasi (civilization).
f. Berdasarkan pendekatan psikologis, pendidikan identik dengan personalisasi atau individualisasi (personalization atau individualization).
g. Berdasarkan pendekatan biologi, pendidikan identik dengan adaptasi (adaptation).[7]
C. Pendidikan dalam arti luas
Sedangkan pendidikan dalam arti makro (luas) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu/ pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya.[8] Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir).[9]
Jadi pendidikan dalam arti luas, hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup (life is education, and education is life). Maksudnya bahwa pendidikan adalah segala pengalaman hidup (belajar) dalam berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi pertumbuhan atau perkembangan individu.
Dalam arti luas, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup individu, tidak ditentukan oleh orang lain,
b. Pendidikan berlangsung kapan pun, artinya berlangsung sepanjang hayat (life long education). Karena itu pendidikan berlangsung dalam konteks hubungan individu yang bersifat multi dimensi, baik dalam hubungan individu dengan Tuhannya, sesama manusia, alam, bahkan dengan dirinya sendiri.
c. Dalam hubungan yang besifat multi dimensi itu, pendidikan berlangsung melalui berbagai bentuk kegiatan, tindakan, dan kejadian, baik yang pada awalnya disengaja untuk pendidikan maupun yang tidak disengaja untuk pendidikan.
d. Pendidikan berlangsung bagi siapa pun. Setiap individu anak-anak atau pun orang dewasa, siswa/mahasiswa atau pun bukan siswa/ mahasiswa dididik atau mendidik diri.
e. Pendidikan berlangsung dimana pun. Pendidikan tidak terbatas pada schooling saja. Pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan di dalam lingkungan alam dimana individu berada. Pendidik bagi individu tidak terbatas pada pendidik profesional.[10]
IV. Kesimpulan
Pendidikan menurut bahasa Yunani : berasal dari kata pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing.
Pendidikan dalam arti mikro (sempit) merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Namun pendidikan dalam arti sempit sering diartikan sekolah (pengajaran yang di selenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal, segala pengaruh yang di upayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka).
Sedangkan pendidikan dalam arti makro (luas) adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu/ pribadi dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Pendidikan dalam arti luas juga dapat diartikan hidup (segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu, suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir).
V. Penutup
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Ilahi Rabb atas pertolongan-Nyalah penyusunan makalah ini dapat selesai tepat waktu. namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari sisi substansi isi maupun teknis penulisan. itu semua terpulang kepada kami dan secara akademik menjadi tanggung jawab kami pula. Untuk itu segala bentuk saran, masukan, koreksi maupun kritik sangat kami nantikan dan harapkan dalam kerangka mencari kebenaran serta guna memperbaiki kualitas makalah ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, kami berharap walau ibarat setetes air di samudra luas makalah ini dapat menjadi sarana menambah ilmu yang bermanfaat. amin.
Foot note
[1]UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989
[2]UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003
[3]Warta Politeknik Negeri Jakarta, April 2007
[4]Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Yogyakarta: LP3ES, 1999), hlm. 26
[5]Hadikusumo, Kunaryo,dkk, Pengantar Pendidikan, (Semarang : IKIP Semarang Press, 1996), hlm. 36
[6]Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 55
[7]http://sulipan.wordpress.com/2009/10/02/pengertian-pendidikan-berdasarkan-lingkupnya-dan-berdasarkan-pendekatan-monodisipliner/
[8]Hadikusumo, Kunaryo,dkk. Op. Cit, hlm. 40
[9]Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. Op. Cit, hlm. 62
[10] http://sulipan.wordpress.com, Op. Cit
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusumo, Kunaryo, dkk, Pengantar Pendidikan, Semarang : IKIP Semarang Press, 1996
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, Yogyakarta: LP3ES, 1999
Umar, Tirtarahardja dan La Sulo, S.L. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005
UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989
UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003
Warta Politeknik Negeri Jakarta, April 2007
Rabu, 06 Oktober 2010
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Ahmad Nizar
Artikel ini diajukan untuk memenuhi tugas Ilmu Alamiah Dasar
Islam adalah agama akal dan hati nurani. Seseorang memahami kebenaran yang diberitakan oleh agama dengan menggunakan kearifannya, serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari alam di sekitarnya menggunakan hati nuraninya. Seseorang yang menggunakan akal dan hatinya dalam memahami sifat-sifat benda apa pun di alam semesta ini, bahkan meskipun ia bukan pakar dalam masalah tersebut, akan memahami bahwasanya itu semua diciptakan oleh Sang Pemilik Kebijaksanaan, Ilmu, dan Kekuasaan yang agung.
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim.
Bagian yang terbanyak daripada ayat-ayat Al-Qur’an adalah perintah Allah kepada manusia agar menalari alam sekelilingnya. Dan setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung turun dari Allah SWT.
Telah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah. Benar kiranya jika Al Qur’an disebut sebagai mukjizat. Bagaimana tidak, ternyata ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di abad ke 7 masehi di mana ilmu pengetahuan belum berkembang (saat itu orang mengira bumi itu rata dan matahari mengelilingi bumi), sesuai dengan ilmu pengetahuan modern yang baru-baru ini ditemukan oleh manusia.
Sebagai contoh ayat di bawah:
Sebagai contoh, dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 30 Allah SWT berfirman: “Tidakkah orang-orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Tidakkah mereka percaya?”. Ayat yang diwahyukan Allah pada abad ke-7 ini baru jelas maknanya setelah ilmu kosmologi dan ilmu biologi berkembang pada abad ke-20.
Saat itu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini.
Kemudian ternyata benar segala yang bernyawa, termasuk tumbuhan bersel satu pasti mengandung air dan juga membutuhkan air. Keberadaan air adalah satu indikasi adanya kehidupan di suatu planet. Tanpa air, mustahil ada kehidupan. Inilah satu kebenaran ayat Al Qur’an.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al Qur’an, 21:33)
Baru pada tahun 1929 dunia astronomi menyadari bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain, dan ini berarti bahwa alam semesta berada dalam keadaan berekspansi atau mengembang. Baru pada tahun 1965 ditemukan bukti-bukti ilmiah bahwa pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam tingkat kepadatan yang tidak terhingga (infinite density), lalu dengan proses Dentuman Akbar (Big Bang) pada sekitar 14 miliar tahun yang silam maka terciptalah alam semesta ini.
Demikian pula dunia biologi baru pada abad ke-20 mengetahui bahwa 80% penyusun sel-sel makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme) adalah air. Seluruh metabolisme dalam tubuh makhluk hidup hanya dapat berlangsung dalam lingkungan pelarut air. Kehidupan di muka bumi baru terbentuk setelah adanya air. Banyak makhluk hidup yang tidak memerlukan udara atau oksigen, tetapi tidak ada yang mampu survive tanpa air.
Masih banyak ayat Al-Qur’an tentang fenomena alam yang harus digali dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan intelektual Muslim. Kita sering lupa bahwa di samping ayat-ayat Qur’ani (yang tertulis dalam Al-Qur’an), terdapat lebih banyak lagi ayat-ayat Kauni, yaitu hukum-hukum Allah yang terdapat dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam Surat Fushshilat ayat 53, Allah SWT berfirman: “Akan Kami perlihatkan pada manusia ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam kehidupan mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar”.
Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences).
Salah satu perintah Allah yang belum maksimal kita laksanakan adalah penguasaan ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan didasari iman dan taqwa (IMTAQ). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan adalah karena mewarisi dan meneruskan ilmu pengetahuan umat Islam di abad-abad pertengahan. Patut dicatat bahwa supremasi kaum Muslimin selama delapan abad jauh lebih lama daripada supremasi Barat sekarang (sejak abad ke-18). Dan umat Islam di mana saja diliputi oleh optimisme bahwa supremasi itu akan kembali ke tangan mereka, asalkan mereka konsisten kepada ajaran Al-Qur’an.
Marilah kita perhatikan intisari ajaran Al-Qur’an tentang sains dan teknologi. Pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti (Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27). Kedua, manusia diperintahkan Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam semesta (Ali Imran 190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13). Ketiga, dalam memanfaatkan hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau membuat pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kita harus memiliki sikap-sikap intelektual yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Pertama, kritis terhadap permasalahan yang dihadapi, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. Kedua, bersedia menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana tercantum dalam Surat Az-Zumar ayat 18: “Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
Ketiga, menggunakan daya nazhar (nalar) semaksimal mungkin, sebagaimana tercantum dalam Surat Yunus ayat 101: “Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”.
Pemahaman terhadap hukum-hukum Allah di alam semesta akan semakin menyadarkan kita bahwa dunia yang fana ini mempunyai awal dan akhir, serta sesudah kehidupan dunia ini akan datang kehidupan akhirat yang abadi. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surat Ar-Ra`d ayat 2: “Allah telah meninggikan langit dengan tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian Dia berkuasa di atas `Arasy. Dia menyediakan matahari dan bulan, yang beredar sampai waktu yang ditentukan. Dia mengatur urusan alam semesta. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”
Pada titik penting dalam sejarah saat ini, kita kaum Muslim memiliki tanggung jawab penting. Berkat globalisasi, dunia tengah berubah menjadi panggung pentas bagi berbagai pemikiran di mana semua sekat dan batas telah terangkat, dan dalam lingkungan ini kita kaum Muslim, sebagai wakil agama yang benar, perlu melancarkan suatu perjuangan besar di bidang budaya dan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan kebenaran Islam.
Kaum Muslim tidak boleh tampil sebagai sosok yang bermusuhan terhadap dunia, sebagai orang yang berpandangan sempit dan keras. Sebaliknya, mereka harus memimpin seluruh dunia dalam hal akhlak, ilmu pengetahuan, pemikiran dan seni. Oleh karena satu-satunya jawaban adalah akhlak Al Qur’an, maka sebuah tanggung jawab besar dan penting jatuh ke pundak orang-orang yang berhati nurani bersih untuk menerangkan Al Qur’an kepada setiap orang dan untuk melancarkan perlawanan ilmiah, serta berusaha keras mengenyahkan Darwinisme, suatu pemikiran materialis yang bertentangan dengan Al Qur’an.
Artikel ini diajukan untuk memenuhi tugas Ilmu Alamiah Dasar
Islam adalah agama akal dan hati nurani. Seseorang memahami kebenaran yang diberitakan oleh agama dengan menggunakan kearifannya, serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari alam di sekitarnya menggunakan hati nuraninya. Seseorang yang menggunakan akal dan hatinya dalam memahami sifat-sifat benda apa pun di alam semesta ini, bahkan meskipun ia bukan pakar dalam masalah tersebut, akan memahami bahwasanya itu semua diciptakan oleh Sang Pemilik Kebijaksanaan, Ilmu, dan Kekuasaan yang agung.
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim.
Bagian yang terbanyak daripada ayat-ayat Al-Qur’an adalah perintah Allah kepada manusia agar menalari alam sekelilingnya. Dan setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelas pula arti yang dikandung dalam ayat-ayat itu. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad s.a.w., melainkan langsung turun dari Allah SWT.
Telah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah. Benar kiranya jika Al Qur’an disebut sebagai mukjizat. Bagaimana tidak, ternyata ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di abad ke 7 masehi di mana ilmu pengetahuan belum berkembang (saat itu orang mengira bumi itu rata dan matahari mengelilingi bumi), sesuai dengan ilmu pengetahuan modern yang baru-baru ini ditemukan oleh manusia.
Sebagai contoh ayat di bawah:
Sebagai contoh, dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 30 Allah SWT berfirman: “Tidakkah orang-orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Tidakkah mereka percaya?”. Ayat yang diwahyukan Allah pada abad ke-7 ini baru jelas maknanya setelah ilmu kosmologi dan ilmu biologi berkembang pada abad ke-20.
Saat itu orang tidak ada yang tahu bahwa langit dan bumi itu awalnya satu. Ternyata ilmu pengetahuan modern seperti teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta (bumi dan langit) itu dulunya satu. Kemudian akhirnya pecah menjadi sekarang ini.
Kemudian ternyata benar segala yang bernyawa, termasuk tumbuhan bersel satu pasti mengandung air dan juga membutuhkan air. Keberadaan air adalah satu indikasi adanya kehidupan di suatu planet. Tanpa air, mustahil ada kehidupan. Inilah satu kebenaran ayat Al Qur’an.
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al Qur’an, 21:33)
Baru pada tahun 1929 dunia astronomi menyadari bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain, dan ini berarti bahwa alam semesta berada dalam keadaan berekspansi atau mengembang. Baru pada tahun 1965 ditemukan bukti-bukti ilmiah bahwa pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam tingkat kepadatan yang tidak terhingga (infinite density), lalu dengan proses Dentuman Akbar (Big Bang) pada sekitar 14 miliar tahun yang silam maka terciptalah alam semesta ini.
Demikian pula dunia biologi baru pada abad ke-20 mengetahui bahwa 80% penyusun sel-sel makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme) adalah air. Seluruh metabolisme dalam tubuh makhluk hidup hanya dapat berlangsung dalam lingkungan pelarut air. Kehidupan di muka bumi baru terbentuk setelah adanya air. Banyak makhluk hidup yang tidak memerlukan udara atau oksigen, tetapi tidak ada yang mampu survive tanpa air.
Masih banyak ayat Al-Qur’an tentang fenomena alam yang harus digali dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan intelektual Muslim. Kita sering lupa bahwa di samping ayat-ayat Qur’ani (yang tertulis dalam Al-Qur’an), terdapat lebih banyak lagi ayat-ayat Kauni, yaitu hukum-hukum Allah yang terdapat dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam Surat Fushshilat ayat 53, Allah SWT berfirman: “Akan Kami perlihatkan pada manusia ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan dalam kehidupan mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar”.
Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences).
Salah satu perintah Allah yang belum maksimal kita laksanakan adalah penguasaan ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan didasari iman dan taqwa (IMTAQ). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan adalah karena mewarisi dan meneruskan ilmu pengetahuan umat Islam di abad-abad pertengahan. Patut dicatat bahwa supremasi kaum Muslimin selama delapan abad jauh lebih lama daripada supremasi Barat sekarang (sejak abad ke-18). Dan umat Islam di mana saja diliputi oleh optimisme bahwa supremasi itu akan kembali ke tangan mereka, asalkan mereka konsisten kepada ajaran Al-Qur’an.
Marilah kita perhatikan intisari ajaran Al-Qur’an tentang sains dan teknologi. Pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan hukum-hukum yang pasti (Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27). Kedua, manusia diperintahkan Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam semesta (Ali Imran 190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13). Ketiga, dalam memanfaatkan hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau membuat pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kita harus memiliki sikap-sikap intelektual yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Pertama, kritis terhadap permasalahan yang dihadapi, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah engkau ikuti sesuatu yang tiada padamu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan isi hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. Kedua, bersedia menerima kebenaran dari mana pun datangnya, sebagaimana tercantum dalam Surat Az-Zumar ayat 18: “Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang menginventarisasi pendapat-pendapat, lalu mengikuti yang terbaik. Mereka itulah yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itulah kaum intelektual”.
Ketiga, menggunakan daya nazhar (nalar) semaksimal mungkin, sebagaimana tercantum dalam Surat Yunus ayat 101: “Katakan: nalarilah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah berguna segala ayat dan peringatan itu bagi kaum yang tidak percaya”.
Pemahaman terhadap hukum-hukum Allah di alam semesta akan semakin menyadarkan kita bahwa dunia yang fana ini mempunyai awal dan akhir, serta sesudah kehidupan dunia ini akan datang kehidupan akhirat yang abadi. Hal ini ditegaskan Allah dalam Surat Ar-Ra`d ayat 2: “Allah telah meninggikan langit dengan tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian Dia berkuasa di atas `Arasy. Dia menyediakan matahari dan bulan, yang beredar sampai waktu yang ditentukan. Dia mengatur urusan alam semesta. Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu”
Pada titik penting dalam sejarah saat ini, kita kaum Muslim memiliki tanggung jawab penting. Berkat globalisasi, dunia tengah berubah menjadi panggung pentas bagi berbagai pemikiran di mana semua sekat dan batas telah terangkat, dan dalam lingkungan ini kita kaum Muslim, sebagai wakil agama yang benar, perlu melancarkan suatu perjuangan besar di bidang budaya dan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan kebenaran Islam.
Kaum Muslim tidak boleh tampil sebagai sosok yang bermusuhan terhadap dunia, sebagai orang yang berpandangan sempit dan keras. Sebaliknya, mereka harus memimpin seluruh dunia dalam hal akhlak, ilmu pengetahuan, pemikiran dan seni. Oleh karena satu-satunya jawaban adalah akhlak Al Qur’an, maka sebuah tanggung jawab besar dan penting jatuh ke pundak orang-orang yang berhati nurani bersih untuk menerangkan Al Qur’an kepada setiap orang dan untuk melancarkan perlawanan ilmiah, serta berusaha keras mengenyahkan Darwinisme, suatu pemikiran materialis yang bertentangan dengan Al Qur’an.
Langganan:
Postingan (Atom)